Meski penyakit kusta jarang kita dengar baik itu di media sosial maupun media elektronik, nyatanya jumlah penderita kusta di Indonesia merupakan terbanyak ketiga di dunia. Jumlah terbanyak ini setelah India dan Brazil. Orang awam menyebut kusta sebagai lepra, namun penyakit kulit ini juga dikenal sebagai penyakit Hansen. Penyakit yang menyerang kulit, saraf tepi, permukaan mukosa saluran pernapasan bagian atas dan mata ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.
Kusta dapat menjangkit semua kalangan, tidak mengenal usia dan jenis kelamin, namun cara penularannya tidaklah semudah penyakit flu. Bila kita hanya sekedar bersalaman, berpelukan, berbagi makanan atau duduk bersebelahan dengan penderita kusta, bukan berarti kita langsung tertular kusta. Dibutuhkan kontak dekat dalam waktu yang lama selama berbulan-bulan dengan seseorang yang terkena kusta, dan kusta yang tidak diobati menjadi faktor risiko penularan. Itulah mengapa orang yang paling berisiko tertular kusta adalah keluarga yang tinggal serumah.
Kusta dapat disembuhkan. Penyakit ini bukan penyakit kutukan, melainkan hanya penyakit infeksi yang perlu pengobatan dengan segera. Dibutuhkan pula dukungan pengobatan dari keluarga terdekat agar kecacatan akibat kusta tidak sampai terjadi. Pun keluarga yang tinggal satu rumah dalam waktu yang lama dengan penderita kusta diharapkan segera memeriksakan diri ke petugas kesehatan agar bisa mendapatkan pencegahan berupa pengobatan yang sesuai.
Demi menyadarkan masyarakat akan masih adanya penyakit kusta sehingga kewaspadaan pada penyakit kulit ini dapat meningkat, berbagai usaha telah dilakukan. Salah satunya dengan adanya Podcast SUKA #SuaraUntukKusta yang merupakan hasil kolaborasi NLR Indonesia dengan KBR. Program ini juga ikut menggaungkan upaya pemerintah dalam penanganan kusta menuju Indonesia bebas dari kusta dan konsekuensinya. Perbincangan menarik soal kusta ini bisa didengar di 100 radio jaringan KBR se-Indonesia atau bisa streaming lewat YouTube Berita KBR.
Pada Selasa, 30 Januari 2024 lalu, talk show Ruang Publik di YouTube Berita KBR, yang merupakan bagian dari podcast SUKA, membahas soal Peringatan Hari Kusta Sedunia 2024. Dipandu oleh Rizal Wijaya dan mendatangkan pembicara dari NRL Indonesia yakni Agus Wijayanto, MMID. Hadir pula Hana Krismawati, M.Sc yang merupakan pegiat Kusta dan Analisis Kebijakan dari Pusat Sistem dan Strategi Kesehatan. Talk show dari pukul 09.00-10.00 WIB sungguh seru untuk disimak.
"Banyak penggiat kesehatan yang ternyata belum tahu soal kondisi masih adanya penyakit kusta di Indonesia. Dengan adanya kegiatan sosialisasi seperti ini (talk show soal kusta) bisa meningkatkan kesadaran mengenai penyakit ini," ujar Hana. Narasumber berbaju hitam beraksen batik keabu-abuan ini melanjutkan, "Untuk tema Hari Kusta Sedunia tahun ini adalah Beat Leprosy: Act, Unity and Eliminate. Keinginan untuk benar-benar menghapus kusta dari negara Indonesia dan membantu penyandang kusta untuk sembuh, tidak bisa dilakukan sendiri. Kita harus bersatu, program-program dipaparkan secara inklusif bukan eksklusif sehingga bisa diketahui semua orang dan melibatkan berbagai pihak."
Hari kusta sedunia diperingati tiap Minggu akhir Januari dan tahun ini bertepatan pada 28 Januari 2024. Diharapkan hal ini bisa menjadi momen komen yang tepat untuk mengakhiri stigma stigma buruk pada penyandang kusta dan orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK). Hana mengatakan bahwa penting untuk menggabungkan berbagai aspek, yakni kesehatan, sosial serta membagikan pengalaman OYPMK sehingga bisa memberikan wawasan yang benar soal kusta. Dengan demikian penyandang kusta dan OYPMK bisa lebih dirangkul di masyarakat.
Angka kusta baru di Indonesia sekitar 14.200, tercatat hingga akhir tahun 2023. Bila dibandingkan penyakit TBC hanya 1/10-nya saja. Jumlah yang kecil, jadi seharusnya bisa segera mengeliminasi penyakit kusta. Semoga dengan terobosan-terobosan yang dilakukan pemerintah, muncul angka baru yang sebenar-benarnya dari kasus yang belum terdeteksi karena sebelumnya hanyalah pencatatan manual. Jadi implementasi mengeliminasi kusta bisa lebih maksimal.
Salah satu organisasi yang sering bekerjasama dengan pemerintah dalam usaha pemberantasan kusta adalah NLR Indonesia, yang ada sejak 2018. Dalam talk show kali ini diwakili oleh Agus Wijayanto yang saat ini ada di Ternate bertemu dengan kawan-kawan petugas kusta dari Maluku Utara dan Sulawesi Utara. Didampingi Kementerian Kesehatan, beliau mendiskusikan soal program-program yang telah dijalankan dan mengevaluasi hasilnya. NLR Indonesia merupakan perubahan dari Yayasan Netherlands Leprosy Relief yang berdiri sejak 1967. Jadi meski NLR Indonesia merupakan organisasi lokal namun beraliansi dengan 5 negara lainnya.
"Visi NLR Indonesia ingin membuat Indonesia bebas dari kusta. Tidak ada kusta lagi. Memastikan tidak ada transmisi, tidak ada yang mengalami disabilitas akibat kusta, dan tidak lagi ada stigma buruk pada OYPMK. Targetnya pada 2040 seluruh dunia bebas kusta," papar Agus.
Mitra utama NLR Indonesia adalah pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Karena pemberantasan kusta juga masuk dalam program pemerintah kabupaten dan kota, maka mitra NLR Indonesia juga dinas kesehatan dan berbagai pihak lainnya. Sinergitas sangat dibutuhkan karena OYPMK berhubungan dengan berbagai aspek lainnya. Dengan demikian tidak hanya penyakitnya saja, hal-hal yang berhubungan dengan kusta pun dapat diatasi.
Selain dengan pemerintah, NLR Indonesia juga bermitra dengan media. Hal ini untuk meluruskan persepsi yang salah soal kusta karena kurangnya informasi. Media perlu menyebarluaskan informasi-informasi yang keliru soal kusta, sehingga sedikit demi sedikit stigma terhapuskan. Selain upaya mengidentifikasi kasus baru, upaya pencegahan secara massif juga wajib dilakukan.
Menurut Hana, agar jumlah pasti penderita kusta dapat terdeteksi, penyandang kusta harus jujur kepada petugas kesehatan. Jangan sampai menunda-nunda pengobatan. Layanan kusta sudah didekatkan dengan lingkungan masyarakat, yakni puskesmas. Diharapkan dengan demikian maka penyandang kusta bisa mengakses layanan, menjalani pengobatan, keluarganya mendukung OYPMK dan tidak menganggap penyakit tersebut merupakan penyakit berstigma buruk.
Dari penelitian di Papua, kontak intens dengan tinggal lebih dari 8 jam bersama penyandang kusta dan dalam kurun waktu lebih dari 8 bulan, seseorang baru bisa tertular kusta. Harusnya dengan penularan yang tidak semudah itu stigma sudah tidak ada lagi. Sudah tidak relevan juga penyandang kusta menyembunyikan dirinya, terlebih keluarga yang memberikan pandangan buruk pada kusta. Pun tenaga kesehatan hendaknya tidak memandang sebelah mata ada para penyandang kusta.
Kementerian Kesehatan sudah berinisiatif mengadakan obat kusta, jadi tidak hanya bergantung pada pemberian obat WHO. Tujuannya agar stok obat kusta di layanan kesehatan tidak sampai kosong, sehingga pengobatan tidak terputus dan tuntas hingga kusta sembuh. Program transformasi kesehatan kini tidak hanya berfokus pada stunting, tapi pengentasan kusta juga tidak dianaktirikan. Semoga bebas kusta 2040 benar-benar terealisasi.