"Hatchi!"
Beberapa hari ini saya bersin-bersin. Biasanya itu tanda bahwa saya terserang virus influenza. Bisa juga karena alergi debu yang pernah saya derita, kambuh lagi. Apalagi akhir-akhir ini saya sering keluar rumah, selain untuk antar-jemput anak sekolah juga untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga. Jadi saat di jalan, tentu yang namanya debu, asap kendaraan bermotor, dan aneka polusi udara menerpa sekenanya.
Meski penyebab polusi udara bisa karena pembakaran sampah pada kegiatan rumah tangga, tapi emisi kendaraan bermotor dan kegiatan industri tetap menjadi kontributor terbanyak. Apalagi jumlah kendaraan pribadi yang berlalu lalang di jalanan begitu banyak, sehingga emisi yang dihasilkan pun menumpuk. Meski hal ini merupakan hal yang biasa terjadi di sekitar kita, namun tidak bisa disikapi dengan menutup sebelah mata. Polusi udara karena emisi merupakan pencetus dimana kualitas udara bersih jadi tidak bisa lagi kita nikmati.
Itulah mengapa saya kemudian menyimak Diskusi Publik KBR yang dipersembahkan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Temanya cukup menarik, yakni "Sinergitas Sektor Transportasi dan Sektor Energi untuk Mewujudkan Kualitas Udara Bersih di Kota Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Bali, Medan, dan Makassar". Bila sebelumnya disebutkan betapa langit DKI Jakarta keabu-abuan karena polusi, di Diskusi Publik kali ini juga bisa diketahui bagaimana dengan kondisi kota-kota besar lainnya di Indonesia. Apakah senasib dengan ibu kota, ataukah malah jauh lebih baik?
Bila berdasarkan Indeks Kualitas Udara (IKU) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kota Surabaya memang menduduki urutan pertama dari 10 daerah lainnya di negara kita. Skor IKU-nya 23, yang berarti bahwa kadar polutan sangat minim. Dimana dari klasifikasi IKU KLHK dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 14 Tahun 2020, ada parameter 0-50 yang berarti baik, 51-100 sedang, 101-200 tidak sehat, 201-300 sangat tidak sehat, dan 300+ berbahaya. Namun ditemukan fakta dari Dinas Kesehatan Surabaya bahwa ternyata ada peningkatan jumlah penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dari tahun sebelumnya. Kebanyakan penderitanya ialah pada kelompok usia produktif karena mereka banyak melakukan aktivitas di luar rumah.
Dalam mempertahankan kualitas udara bersih, Dinas Perhubungan Surabaya kembali menata angkutan umum. Sebelumnya sudah ada angkutan pengumpan (feeder) bernama Wira-wiri dan bus kota bernama Suroboyo Bus. Keduanya bisa dibayar menggunakan QRIS atau kartu uang elektronik, dan dicek rutenya menggunakan aplikasi GoBis. Bahkan Suroboyo Bus pernah 'happening' saat awal diperkenalkan Pemerintah Kota Surabaya karena bisa dibayar pakai sampah plastik.
Nah untuk memaksimalkan pengurangan emisi, kini sedang diberlakukan uji coba bus listrik. Masih dicek bagaimana kinerja mesin dan bagaimana animo masyarakat mengenai transportasi umum model baru ini. Sebab pada angkutan umum model lama, masih ada keluhan masyarakat soal kenyamanan dan ketepatan waktunya. Sebab memang jumlah armada kendaraan masih terbatas sedangkan Surabaya yang luas butuh banyak transportasi umum dengan aneka rute, utamanya yang bisa masuk ke kampung-kampung.
Rupanya kondisi Surabaya masih bisa dimaklumi bila dibandingkan dengan Bali. Setelah pandemi, aktivitas di Bali meningkat hingga 150%. Bahkan situasi saat menjelang akhir tahun seperti saat ini, banyak kendaraan dari luar Bali yang kemudian juga membuat meningkatnya jumlah kendala di jalanan. Tidak hanya kemacetan, penderita ISPA pun meningkat.
Pak Made Partiana yang merupakan perwakilan dari Dinas Kesehatan Bali menyebutkan, "Penderita ISPA di usia 9-60 tahun ada lebih dari 79 ribu jumlah kasus. Sebenarnya bukan hanya karena faktor emisi, tapi faktor cuaca dan pola makan masyarakat juga mempengaruhi. Namun fasilitas pelayanan kesehatan sudah sangat dipersiapkan dalam menangani masalah ini."
Data ini diperkuat oleh Pak Mudarta dari Dinas Perhubungan Bali yang menyatakan jumlah pemilikan kendaraan pribadi ada 4,7 juta yang teregistrasi. Karena ada regulasi untuk memakai kendaraan yang ramah lingkungan, kini tercatat sudah ada sekitar lebih dari 4000 kendaraan listrik dimana 3500-nya merupakan sepeda motor. Jadi masyarakat juga telah sadar untuk ikut menjaga kualitas udara bersih dengan penggunaan kendaraan non emisi. Tapi memang jumlahnya masih belum maksimal mengingat faktor ekonomi, dimana masyarakat masih belum bisa menjangkau harga kendaraan listrik yang relatif mahal.
Meski Bali berupa pulau yang tidak terlalu besar, ternyata kendaraan umum masih belum jadi prioritas dalam agenda pembangunan daerahnya. Hal ini disayangkan sekali. Terbukti dari akses kendaraan dari dan menuju airport dimana masih menggunakan sewa motor atau mobil. Karena Trans Metro Dewata yang merupakan sistem transportasi massal belum terintegrasi dengan baik dan bahkan mengalami penurunan jumlah armada.
Sangat berbeda dengan Semarang dimana Dinas Perhubungan-nya mengatakan bahwa BRT (Bus Rapid Transit) Trans Semarang sudah menggunakan BBG (Bahan Bakar Gas). Hal ini sebagai penegasan komitmen mengembangkan moda transportasi massal yang ramah lingkungan. Telah ada 12 koridor, dengan 271 kendaraan yang beroperasi. Maka tak heran bila Kota Lumpia ini menyabet prestasi sebagai Kota Terbaik Peningkatan Pengguna Angkutan Umum.
Demi menarik minat pengguna angkutan umum, tarif yang diberikan sangat terjangkau. Untuk pelajar, buruh dan veteran tarifnya hanya 2000 rupiah. Sedangkan penumpang umum tarifnya 4000 rupiah. Saat ini juga sedang diberlakukan aturan dimana pelajar dilarang naik kendaraan bermotor sendiri, dikarenakan masih banyak yang belum mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM). Dengan begitu pula jumlah penikmat moda angkutan umum bisa meningkat.
Tidak berhenti di situ, untuk mengurangi emisi sehingga kualitas udara bersih bisa terjaga maka Pemerintah Kota Semarang membuat event Car Free Day (CFD) rutin setiap Hari Minggu. Jalurnya ada di Jalan Pemuda dan Jalan Pahlawan. Sesuai namanya, CFD ini menutup jalan protokol dan melarang kendaraan bermotor untuk melewati jalur tersebut dari jam 6 hingga 9 pagi. Selain itu juga ada Car Free Night di Kota Lama Semarang.
Meski demikian dari Dinas Kesehatan Semarang menghimbau masyarakatnya agar menggunakan masker saat di luar rumah. Ini karena tingginya emisi sehingga ditakutkan partikel kecil polutan bisa masuk ke tubuh manusia lewat saluran pernafasan dan kemudian menyebabkan penyakit. Data tentang daerah mana saja yang cakupan polusinya tinggi sudah disebar ke masyarakat. Dengan begitu masyarakat Semarang jadi punya kesadaran untuk antisipasi penyakit karena kualitas udara buruk, sebagai bukti edukasi sudah baik. Dari data fasilitas kesehatan selama 2 tahun ini juga tercatat bahwa masyarakat yang datang ialah dengan tujuan cek rutin / screening, bukan karena kondisi sakit.
Angka kejadian ISPA yang menurun ditemukan di Yogyakarta. Ibu Wara sebagai perwakilan Dinas Kesehatan menyebutkan bahwa selama 3 bulan ini angka kejadian ISPA mengalami penurunan signifikan. Hal ini karena sekarang banyak area kosong yang telah dijadikan lahan hijau untuk mengurangi pencemaran udara. Selain itu juga karena adanya perubahan prilaku masyarakat lokal yang lebih banyak di dalam rumah saat akhir pekan.
"Pada Sabtu Minggu, warga lokal memberi kesempatan pada wisatawan agar bisa lebih menikmati asrinya suasana Jogja. Akhirnya tidak terlalu banyak kendaraan yang memadati jalanan, warga lokal juga kesehatannya terjaga dengan istirahat di rumah dan tidak terpapar polusi," pungkas wanita berhijab ini.
Sayangnya data Ibu Zulha dari Dinas Kesehatan Makassar tidak demikian. Didapatkan jumlah penderita ISPA usia di bawah 5 tahun yang meningkat, yaitu dari 15 ribu menjadi 31 ribu penderita. Tetapi faktor penyebabnya bukan hanya dari polusi, karena bisa juga disebabkan oleh jumlah kepadatan anggota dalam rumah, pemberian ASI eksklusif, kecukupan gizi seimbang, riwayat lahir rendah, statusnya imunisasi dan Prilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Bisa juga karena surveilans yang semakin bagus dimana jumlah pencatatnya yang ditambah dan juga deteksi dini karena adanya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri saat ada keluhan. Inilah hal-hal yang menyebabkan angka jumlah penderita ISPA semakin meningkat hingga 2 kali lipat.
Rupanya begitu banyak hal yang mempengaruhi terwujudnya kualitas udara bersih. Sinergitas sektor transportasi dan energi begitu dibutuhkan sehingga hasilnya bisa sesuai dengan harapan. Dengan udara minim emisi, maka angka kejadian ISPA juga bisa ditekan. Masyarakat bisa hidup lebih sehat, angka harapan hidup juga bisa lebih tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca ^^
Tolong berkomentar dengan sopan yaaa... Maaf kalau ada yang belum terjawab :*