Di era digital seperti saat ini tentu saja pemakaian gadget di segala kalangan menjadi tak asing lagi. Tidak hanya orang dewasa, bahkan anak-anak pun menggandrungi kecanggihan teknologi, utamanya smartphone. Memang harus bijak dalam menggunakannya, alih-alih berguna gadget bisa merusak generasi bangsa. Sebab pemakaiannya bukan sekedar menghubungi sanak kerabat juga namun merambah ke pencarian data, sosial media hingga hiburan berupa game online.
Dalam game online, butuh koneksi internet. Tidak jarang karena keterbatasan ekonomi, anak-anak yang kecanduan game online jadi lebih sering nongkrong di warung kopi demi mendapatkan sambungan internet gratis lewat WiFi. Generasi muda yang harusnya memanfaatkan waktunya untuk menimba ilmu jadi lebih fokus membuang waktunya untuk kesenangan sesaat. Bahkan kemudian berujung penurunan prestasi di sekolah karena lebih mengutamakan bermain game di gadget daripada mengerjakan pekerjaan rumah.
Hal demikianlah yang membuat Achmad Irfandi, pemuda Desa Pagerngumbuk, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur, miris. Ia yang alumnus Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya ini menyaksikan sendiri bagaimana anak-anak kecil di desanya menghabiskan waktu di warung kopi demi berburu wifi. Padahal era digital yang mestinya berdampak positif dalam kehidupan sehari-hari nyatanya mengorbankan generasi muda. Menangkap fenomena yang tidak selaras antara perkembangan teknologi dan tumbuh kembang anak, maka digagaslah Yayasan Kampung Lali Gadget.
Penggagas Konservasi Budaya “Kampung Lali Gadget”
Lali merupakan bahasa Jawa dari lupa. Keinginan Irfan, sapaan akrabnya, agar anak-anak lupa dari gadget dan sibuk dalam dunia anak-anak yang semestinya kemudian membuatnya mendirikan Yayasan Kampung Lali Gadget (KLG) di depan rumahnya pada Agustus 2018 silam. Tujuannya sederhana, agar anak-anak kembali bermain dan melestarikan ragam permainan tradisional anak supaya tidak punah. Di masa sekarang, jangankan bermain, anak-anak yang mengenal permainan tradisional saja sudah sangat jarang.
Irfan kemudian merumuskan konsep dolanan tanpa gadget yang disampaikan ke komunitas Wonoayu Kreatif, komunitas lokal di Sidoarjo. Berkat ditanggapi antusias oleh anggota komunitasnya maka dibuatlah acara yang melibatkan masyarakat sekitar. Ide digital detoks yakni mendetoksifikasi pengaruh gadget dan internet pada generasi muda dengan memberi kesempatan pada anak untuk bermain bersama teman-temannya dan punya banyak pilihan permainan yang seru. Irfan menilai anak yang kecanduan main game itu karena tidak punya teman yang mengajak main, tidak punya pengetahuan soal permainan tradisional, dan juga kurangnya pilihan permainan yang ada di sekitar rumahnya.
Pemuda yang usianya lebih dari seperempat abad ini mengerti bahwa perkembangan teknologi seperti gadget dan internet berdampak baik bila dimanfaatkan secara optimal. Anak-anakpun boleh menggunakan sewajarnya. Yang terpenting ada batasan, karena anak-anak sedang mengalami masa pertumbuhan. Perlu banyak didikan, utamanya yang berhubungan dengan perilaku, moral dan tidak melupakan budaya.
Seperti yang kita ketahui, anak-anak yang sibuk dengan gadget maka akan sibuk dengan 'dunianya' sendiri. Padahal seharusnya mereka yang muda mau bermain dengan sebayanya maka bisa berlatih bersosialisasi, bekerja sama dan melestarikan budaya lewat permainan tradisional yang bisa didapatkan tanpa perlu mengeluarkan biaya. Yaa… mainan bisa dibuat menggunakan bahan yang tersedia di alam, daun dan batang tanaman misalnya. Bisa membuat kuda-kudaan dari pelepah pisang, perahu dari daun dan masih banyak lagi.
Tuhan telah menyediakan berbagai mainan di alam, karenanya lah perlu mengenalkan permainan tradisional pada anak-anak. Dengan memanfaatkan bagian tanaman, batu, tanah, air maupun benda-benda di sekitar bisa mengasah kreativitas dan menumbuhkan daya imajinasi anak. Alam telah menyediakan, tinggal mengenalkan bagaimana cara bermainnya. Terlebih permainan tradisional bisa menjadi alat pembentukan karakter generasi muda, penyeimbang penggunaan gadget di era kini.
Meski punya niat mulia, awal perjuangan Irfan mendirikan Yayasan Kampung Lali Gadget, yang kemudian disebut KLG, terbilang tidak mudah. Utamanya dalam hal pembiayaan, karena keinginan memfasilitasi aktivitas pendidikan lewat permainan tradisional secara gratis. Karenanya Irfan pun mendanai lewat hasil usaha pribadinya yakni berjualan udeng, ikat kepala laki-laki khas Sidoarjo. Selain itu, pemuda yang patut diacungi jempol ini juga rajin mengirim surat ke sekolah-sekolah terdekat guna mengirimkan perwakilan anak didiknya datang ke yayasan KLG. Padahal yayasan KLG merupakan bangunan semi terbuka yang dikelilingi sawah dan kebun, lokasinya juga cukup jauh dari jalan raya utama.
Berkat kegigihannya mengenalkan yayasan KLG, konservasi budaya gagasannya ini pun populer di masyarakat. Yang datang tidak hanya dari sekitaran Kecamatan Wonoayu, namun juga hingga luar kota lintas provinsi. Yang peduli dan memberikan donasi juga bertambah, sehingga bisa melakukan banyak perbaikan yayasan KLG menjadi lebih baik lagi. Dukungan baik moril maupun materil didapat dari berbagai elemen masyarakat, termasuk instansi pemerintah dan akademisi.
Jenis Permainan di Kampung Lali Gadget
Setiap akhir pekan ada ragam permainan berbeda-beda dan tematik. Anak-anak bisa mencoba aneka permainan tradisional yang disediakan di pendopo yayasan KLG. Ada egrang, klompen tali, klompen panjang, gasing, yoyo, dan sebagainya. Tema mingguannya yang variatif misalnya minggu ini bermain dengan daun, minggu depannya batang, batu, air dengan main di sawah, tangkap lele, main lumpur, membuat anak-anak antusias memainkannya. Pun merangkai puzzle Pancasila dimana pemahaman tentang keberagaman dan kebhinekaan di Indonesia dikenalkan pula saat memainkannya. Atau main telepon benang dimana disematkan juga pesan untuk menjaga lingkungan.
Tidak sekedar bermain, gamelan, wayang, juga makanan tradisional seperti jemblem yang merupakan jajanan khas Sidoarjo, tak lupa dikenalkan. Bagi Irfan yang namanya belajar tidak hanya dengan berada di sekolah formal. Namun bermain di lingkungan sekitar juga bisa menjadi tempat belajar, utamanya dalam mendidik karakter anak. Karena karakter akan muncul ketika anak itu berinteraksi dengan orang lain. Karakter seperti mau mengalah, gigih berjuang, toleransi dan bekerjasama bisa ditanamkan saat anak bermain bersama teman-temannya di alam.
Yang paling seru saat anak-anak memainkan permainan tradisional seperti gobak sodor, cublek suweng dan bakiak. Pada permainan bakiak misalnya, anak-anak yang bermain harus kompak agar bisa berjalan dengan seimbang. Tidak boleh ada satu anggota dalam kelompok itu yang merasa lebih hebat lalu berjalan cepat. Alih-alih menang, yang ada bisa celaka karena tidak seimbang lalu terjatuh. Jadi meski awalnya kesulitan karena baru mengenal permainan ini, anak-anak tetap bahagia. Pun rasa kebersamaan, kekompakan, saling peduli, dan membantu tumbuh kala bermain bersama.
Meski permainan tradisional dikenal membuat pakaian kotor, namun orang tua tidak boleh memarahi anaknya. Bahkan orang tua sengaja diminta menjauh dari lokasi permainan agar anak-anak leluasa bermain di alam bebas tanpa rasa takut. Sebagai gantinya, orang tua diberi ajang tersendiri di Balai Desa Pagerngumbuk. Jaraknya sekitar 50 meter dari lokasi main anak-anak. Di sini para orang tua diberi diskusi parenting yang menghadirkan psikolog, diberikan pemahaman tentang sejumlah permasalahan anak dan cara mengatasinya.
Kembangkan Potensi Sekitar "Kampung Lali Gadget"
Selain mendirikan yayasan KLG, rupanya Irfan tidak berhenti di situ saja. Pemuda ini juga peduli dengan sekitarnya dan bahkan berusaha mengembangkan potensi yang ada di daerah Wonoayu. Meski lokasinya berada di pedesaan, ternyata masih banyak masyarakat yang belum sadar akan potensi demografi wilayah. Hanya menjalani rutinitas yang kebanyakan sebagai petani saja, padahal masih banyak potensi yang bisa dikembangkan demi perbaikan ekonomi masyarakat.
Irfan meyakini bahwa bila potensi demografi diramu tentu melahirkan potensi yang luar biasa. Sebagai contoh, dengan alam Wonoayu yang merupakan kecamatan dengan tanah pertanian yang subur, apalagi generasi mudanya enggan mewarisinya maka bisa saja berangsur-angsur menjadi pemukiman padat. Beberapa kapling perumahan saja mulai terbangun, tanah persawahan perlahan mulai tergerus. Bila anak muda Wonoayu enggan menjadi petani maka bisa saja tanah pertanian akan punah.
Karena khawatir akan hal tersebut, Irfandi pun sering mengajak anak-anak untuk pergi ke sawah. Tidak sekedar bermain, namun juga mensyukuri alam sekitar dan harapannya agar anak-anak tak risih dengan lumpur dan aneka flora fauna di sana. Anak-anak yang melihat bagaimana kerja petani di sawah bisa lebih banyak belajar dan menghargai apa yang sekarang mereka dapatkan. Semoga pula ada harapan lahirnya petani millenial yang tetap mau mengelola dan mengembangkan hasil tanah pertanian, utamanya di persawahan.
Tidak hanya itu, rupanya Wonoayu punya potensi sejarah yang bisa dijadikan tempat wisata menarik. Sayangnya masih belum banyak diketahui khalayak ramai. Ada Candi Dermo dan keberadaan Pabrik Gula Popoh Wonoayu yang bisa dijadikan jujukan sejarah. Bangunannya masih terjaga, jadi masih layak untuk dikunjungi dan dipelajari isinya.
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di bumi Wonoayu juga bisa dijadikan potensi wisata lainnya. Ada pengrajin gitar yang populer dalam lingkup musisi-musisi luar negeri. Adapula pengrajin Udeng Pacul Gowang asli Sidoarjo. Ini adalah penutup kepala yang menutupi sebagian kepala laki-laki sebagai lambang keseimbangan antara terbukanya pikiran prajurit dan upaya merahasiakan atau menutup keburukan dirinya untuk kewibawaannya. Tentu saja melestarikan budaya berhubungan dengan kemajuan bangsa, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya.
Penghargaan yang Diraih
Setelah 5 tahun berjalan, yayasan KLG telah banyak berkembang. Tercatat ada lebih dari 100 penggerak dolanan, istilah konservasi budaya permainan tradisional, yang diberdayakan. Ada lebih dari 120 jenis mainan tradisional yang 'dihidupkan' kembali dengan lebih dari 30 tema bermain tradisional yang dieksplorasi, juga lebih dari 10.000 anak yang teredukasi dengan lebih dari 10.000 alat mainan tradisional yang diedarkan. Tak hanya itu, ada lebih dari 200 lembaga pendidikan dan komunitas yang telah berkolaborasi. Bahkan orang-orang dari 15 provinsi Indonesia dan orang-orang dari 12 negara di dunia telah belajar di yayasan KLG.
Semakin banyak anak yang tertarik menghabiskan waktu akhir pekan di yayasan KLG dibandingkan asyik memainkan gadgetnya. Maka tak heran apabila yayasan KLG pun meraih penghargaan inovasi sosial terbaik versi Astra. Irfan sendiri meraih prestasi berupa Pemuda Pelopor Bidang Pendidikan Nomor 1 di Jawa Timur tahun 2020 oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Gerakan untuk mengurangi kecanduan gadget ini pun mendapat apresiasi Astra International Tbk melalui penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2021.
Rupanya perjalanan Irfan meraih penghargaan bergengsi ini tak mulus. Ia telah mendaftar di SATU Indonesia Awards sejak 2019. Sayangnya tidak lolos. Lalu mendaftar pada tahun 2020 dan tidak lolos lagi. Syukurlah di tahun 2021, dia tidak kapok mendaftar dan malah berujung menjadi finalis di kategori penggerak koservasi budaya melalui Kampung Lali Gadget.
Harapan Irfan Kedepannya
Irfan bergitu berharap program di yayasan KLG yang digagasnya bisa menginspirasi lebih banyak orang. Dengan demikian jadi biaa menyelamatkan anak-anak dari kecanduan gadget dan mencetak generasi muda Indonesia yang berkarakter kuat. Keberadaan yayasan KLG ini sangat penting bagi anak-anak yang sudah seharusnya dididik sepenuh hati dan dekat dengan alam. Kedepannya Irfan berencana membuat lembaga pendidikan non formal berbasis kampung, seperti sekolah alam tapi yang terjangkau masyarakat.
Irfan berharap apa yang telah dilakukannya juga bisa memperbaiki literasi digital. Kini anak-anak memang bisa dengan mudah mengakses internet namun belum terbimbing untuk punya etika dalam penggunaan media sosial dan aplikasi perpesanan instan. Misalnya saja saat menghubungi yang lebih tua melalui WhatsApp, anak-anak kerap tidak menggunakan salam dan bahkan kata-katanya kurang sopan saat meninggalkan komentar di sosial media. Irfan berharap semoga edukasi di yayasan KLG bisa membantu pertumbuhan dan perkembangan anak-anak menjadi generasi penerus yang tidak lupa budaya, sadar akan etika, sopan santun, dan berbudi pekerti yang baik.
Sumber:
https://jatim.solopos.com/kampung-lali-gadget-sidoarjo-tempat-anak-anak-bergembira-tanpa-gawai-1226954/amp
https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2022/kampung-lali-gadget-lestarikan-permainan-tradisional-untuk-anak/?amp
https://www.pdipkreatif.id/detail/wisata/1298/kampung-lali-gadget
https://sidoarjonews.id/achmad-Irfan-sosok-pelopor-yayasan-kampung-lali-gadget-klg-di-sidoarjo/
https://m.kumparan.com/amp/beritaanaksurabaya/mengenal-irfan-pemuda-sidoarjo-yang-membuat-kampung-lali-gadget-1vq51qeW1BP