Sebagai penyakit yang sudah ada sejak zaman kuno, rupanya kusta masih menimbulkan dilema dan masalah kesehatan di berbagai dunia. Tidak hanya terkait dengan dosa, terkadang kusta dianggap sebagai ujian. Hal ini tertulis dalam kitab-kitab suci beberapa agama, tentang adanya penyakit kusta serta bagaimana doa saat mengalaminya.
Bila di masa dulu, kusta atau yang lebih dikenal sebagai penyakit lepra mengalami pengasingan. Bahkan Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) masih tetap terjebak di lingkup diskriminasi hingga saat ini. Ancapkali OYPMK memiliki stigma yang cukup tinggi hingga kemudian menarik diri dari lingkungannya.
KBR yang menggaungkan suara Indonesia bebas kusta mengulik tuntas dengan menghadirkan narasumber terpercaya. Inilah Ruang Publik KBR "Kusta dalam Prespektif Agama" pada Senin, 8 Mei 2023, dengan Host Rizal Wijaya. Obrolan seru di YouTube ini dipersembahkan oleh NRL Indonesia. Ada dr Muhammad Iqbal Syauqi dan Bapa pendeta (Emeritus) Corinus Leunufna. Kebetulan bapa pendeta merupakan OYPMK sehingga hal ini bisa jadi pembelajaran menarik.
Dokter umum di RSI Aisyiyah Malang yang kemudian kita sapa sebagai dr Iqbal, juga pernah menjadi santri di salah satu pondok pesantren dan menceritakan bagaimana penyakit kusta sudah dikenal bahkan sebelum zaman nabi Muhammad SAW. Kusta disebut Juzam yang artinya terpotong, karena pada fase lanjut kusta mengalami mutilasi atau ada bagian tubuh yang terpotong lalu mengalami disabilitas. Ada doa di Islam yang pernah dilafalkan Nabi Muhammad SAW yang artinya "Ya Allah Ya Tuhan, kami berlindung dari kegilaan, dari belah, dari kusta danaha penyakit-penyakit yang buruk." Mengapa Nabi Muhammad SAW juga sampai berdoa agar terhindar dari penyakit ini? Sebab dari masaalu pun kusta merupakan penyakit mengkhawatirkan dan ditakuti.
Sikap Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi penyakit kusta adalah mengajarkan membaca doa tersebut agar terhindar dari kesakitan, kecacatan dan stigma dari penyakit kusta. Ada hadist yang berarti "Pergilah dari orang-orang yang terkena kusta sebagaimana kamu lari dari nga," yang menunjukkan kusta merupakan penyakit yang sungguh ditakuti oleh orang Arab di masa itu. Lalu bagaimana sikap Nabi Muhammad pada orang yang terkena kusta? Rupanya ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah memegang tangan orang yang terkena kusta lalu memasukkan tangannya bersama tangan beliau ke dalam piring. Kemudian Nabi Muhammad SAW berkata, "Makanlah dengan nama Allah. Dengan percaya serta tawakal kepada-NYA," yang artinya Nabi tidak mendiskriminasi penderita kusta, meski memiliki rasa khawatir akan penyakit tersebut.
Kusta merupakan penyakit menular. Ada beberapa faktor penyebab penularannya, yaitu:
1. faktor kontak, dengan adanya kontak erat dalam waktu lama, jadi bukan dalam waktu singkat.
2. faktor imunologis, yaitu faktor kondisi tubuh orang saat terpapar bakteri kusta.
Penyakit kusta bisa diobati dan bisa sembuh. Bahkan kecacatannya bisa diantisipasi bila kusta diketahui sejak dini dan langsung terobati. Apakah kusta lahir akibat kutukan? Ini adalah peran pemuka agama dalam menyikapinya.
Bapa Pendeta bercerita bahwa pada 2016 lalu, beliau pernah mengalami mati rasa pada kaki. Lalu berkonsultasi pada dokter dan memeriksakan diri ke Puskesmas. Ternyata Bapa Pendeta sudah terinfeksi kusta. Rasanya dunia berputar karena Bapa pendeta takut stigma yang akan dialaminya. Beliau lalu rutin minum obat tanpa putus selama 1 tahun penuh.
Kemudian pada bulan Mei 2017, Bapa Penderita diperiksa dan dinobatkan sebagai OYPMK. Beliau menyebutkan bahwa sama sekali tidak pernah menyesal akan kondisinya sebab sebagai rohaniawan, bapa pendeta selalu berdoa, "Tuhan, tolonglah mereka yang sangat membutuhkan pertolongan." Beliau lalu berpikir mengapa malah istilahnya menyuruh Tuhan untuk pergi menemui orang-orang yang sedang kesulitan, mengapa bukan dirinya sendiri saja yang menemui? Hingga ketika terkena kusta, Bapa Pendeta lalu tersadar kalau ini adalah teguran dari Tuhan.
Bapa Pendeta lalu mendekatkan diri untuk melakukan pelayanan pada orang-orang penderita kusta. Bapa pendeta bercerita bahwa beliau tidak takut akan penyakit kustanya, tapi lebih takut pada stigma. Istilah kasarnya takut tidak diterima keluarga dan dihindari para jemaat. Ternyata ketakutannya tidak terjadi.
Dalam Al Kitab banyak berbicara soal kusta. Pembicaraan itu kuat karena kusta disebut sampai 23 kali dan diyakini kusta sebagai kutukan, hal ini tercatat dalam perjanjian lama dan baru. Maklum di masa lalu belum ada medis secanggih saat ini sehingga penyakit kusta begitu dihindari. Penderitanya bahkan sampai tinggal di pemakaman, goa, dan lainnya. Makanannya diikat dengan tali, diusahakan agar jangan sampai ada kontak karena dikhawatirkan ada penularan lewat media apapun.
Kalau di agama Islam ada kisah soal penyakit kulit Nabi Ayub, yang mungkin itu adalah kusta. Dikisahkan bahwa Nabi Ayub diuji kesabaran dan keimanannya lewat penyakit yang dideritanya. Hal ini yang kemudian juga menjadikannya sebagai mukjizat. Bukan kutukan.
Muslim yang menderita sakit menjadikannya ridho dan rela mengalami penempatan diri sehingga ikhlas menerima takdir. Sakit bisa menambah keimanan bahwa manusia tidak bisa apa-apa, yang berkuasa adalah Allah. Sebagai hamba yang Sholeh, Nabi Ayub tidak melakukan hal-hal yang negatif sehingga membuatnya diganjar hukuman. Sehingga sakit yang dideritanya memang merupakan ujian untuk menguatkan keimanannya kepada Allah. Dalam Al Kitab, ada kisah tentang Nabi Ayub juga. Sakit yang dialaminya untuk menguji kualitas keimanannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca ^^
Tolong berkomentar dengan sopan yaaa... Maaf kalau ada yang belum terjawab :*