Berbicara soal Bahan Bakar Minyak (BBM) memang tiada habisnya. Terlebih saat pengendalian BBM menjadi hal yang krusial karena membawa dampak yang begitu besar. Seperti yang kita tahu, setelah selama lebih dari 2 tahun ini kita berhadapan dengan pandemi akibat covid-19, memang ada bentuk perbaikan perekonomian yang terjadi. Sayangnya lalu muncul masalah yang cukup pelik, yakni adanya kenaikan harga BBM.
Kenaikan harga BBM disebabkan oleh beban subsidi BBM dan kompensasi energi yang membengkak. Selain itu juga karena adanya pengaruh harga minyak mentah dunia dan juga kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Hingga akhirnya pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM bersubsidi, yaitu Pertalite dan Solar. Hal ini pastinya memberikan pengaruh pada biaya lainnya seperti naiknya bahan pangan, transportasi dan juga mendorong inflasi yang bisa berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Ada survei yang menyatakan bahwa selama ini subsidi BBM tidak tepat sasaran dan malah banyak dinikmati kalangan mampu. Bahkan total BBM subsidi yang tak tepat sasaran mencapai sekitar 70-80 %. Kendaraan pribadi roda 4 menjadi pemakai BBM bersubsidi dengan porsi terbanyak, bukan sepeda motor ataupun kendaraan umum yang semestinya mendapatkan BBM bersubsidi. Inilah mengapa kemudian menyimak diskusi publik KBR yang berlangsung pada Selasa, 8 November 2022, menjadi sangat menarik.
Diskusi publik yang menghadirkan para narasumber kompeten ini mengedapankan fakta yang ada di lapangan soal pengendalian BBM bersubsidi ini. Ada Tulus Abadi selaku ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Maompang Harahap S.T., M.M, selaku Direktur Pembinaan Usaha Hilir migas, Dr. Syafrin Liputo, A.T.D., M.T., selaku kepala dinas perhubungan DKI Jakarta, Luckmi Purwandari selaku Direktur Pengendalian Pencemaran Air Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) dan masih banyak narasumber lainnya. Diskusi publik ini layak disimak agar kita sebagai orang awam jadi lebih mengerti dan memahami bagaimana pengendalian BBM bersubsidi. Pun bisa mencari cara soal pengurangan emisi atau gas buang agar bisa lebih menjaga lingkungan kita.
Memang penggunaan kendaraan roda 2 dan roda 4 di DKI Jakarta sangatlah dominan. Hal ini membuat banyaknya BBM yang digunakan, pun menimbulkan polusi yang luar biasa. Tidak heran bila pada Juni 2022 lalu, DKI Jakarta menduduki posisi nomor satu sebagai kota dengan udara terburuk sedunia. Menurut Tulus Abadi, disamping adanya aspek ketidakadilan karena penggunaan BBM bersubsidi lebih banyak digunakan oleh kendaraan roda 4, juga menimbulkan dampak ekologis dengan dampak pemberian emisinya.
Ketua YLKI tersebut menyarankan bentuk pengendalian BBM bersubsidi yang bisa diterjemahkan dalam 2 cara: insentif dan disinsentif. Insentif adalah mendorong sebanyak mungkin penggunaan transportasi umum sehingga terjadi migrasi penggunaan kendaraan umum yang lebih banyak. Dengan cara ini diharapkan emisi bisa berkurang dan bisa lebih ramah lingkungan. Sehingga kita bisa kembali melihat langit biru, tidak seperti sekarang dimana di daerah Bandara Halim Perdanakusuma yang tampak adanya kabut hitam yang seolah mendung. Ini merupakan bentuk nyata tingginya polusi Jakarta, sebagai akibat dari emisi kendaraan, pabrik, rumah tangga dan lain sebagainya.
Untuk cara disinsentif adalah bila tidak mau menggunakan kendaraan umum maka haruslah menggunakan bahan bakar yang berkualitas untuk kendaraannya. Dengan cara ini juga bisa meminimalisir jumlah emisi. Lihat saja bagaimana kendaraan roda 2 bisa masuk ke gang-gang kecil, lalu memberikan polusi udara dan suara. Karena itulah penggunaan kendaraan pribadi yang semakin dominan membuat distribusi polusi jadi semakin merata. Penggunaan BBM berkualitas menjadi sangat penting, apalagi pemilihan BBM yang sesuai spesifikasi mesin juga dapat mengefektifkan kerja mesin sehingga mesin jadi terawat, terhindar dari kerusakan dan kemudian menjadi lebih hemat.
Tercatat sebanyak 60% polusi di Jakarta adalah akibat dari polusi kendaraan pribadi. Dikarenakan penggunaan kendaraan pribadi mencapai 35% maka menjadi urgensi untuk mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi dan penggunaan energi. Hal ini tidak terpisahkan. Apalagi penggunaan bahan bakar sebagai energi kurang disoroti pemerintah padahal bisa saja kita belajar dari eropa, yang menggunakan bahan bakar berkualitas level EURO IV. Standar ini yang sangat ramah lingkungan, sekalipun masih fosil tapi emisinya rendah.
Inilah yang kemudian ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Jakarta agar bisa membuat kota ini jadi lebih nyaman ditinggali. Selain pengendalian BBM bersubsidi, standar emisi kendaraan untuk mengatur ambang batas kadar polutan yang dapat dikeluarkan oleh suatu kendaraan juga perlu benar-benar diperhatikan. Apalagi emisi kendaraan bermotor berkontribusi besar terhadap pencemaran Nitrogen Oksida (NOx), Karbon Monoksida (CO), Sulfur Dioksida (SO2) dan Partikulat (PM) di wilayah perkotaan. Bukan hanya pencemaran udara, bahkan emisi yang berlebihan dapat menyebabkan pemanasan global atau efek rumah kaca, dengan salah satu dampaknya ialah peningkatan suhu di bumi secara signifikan.
Pihak PPKL yang diwakili Luckmi menyebutkan sejak September ini terutama setelah adanya kenaikan harga BBM, ada perbaikan kualitas udara di DKI Jakarta. Hal ini terpantau dari 6 stasiun pencatatan kualitas udara. Mungkin karena adanya migrasi penggunaan bahan bakar seperti pertalite ke pertamax, maka penurunan jumlah emisi pun terjadi. Seharusnya memang inilah dampak baik yang diharapkan setelah adanya perubahan harga BBM.
Sayangnya, karena kenaikan harga BBM pula, masih ada banyak masyarakat mampu yang malah menggunakan BBM bersubsidi seperti pertalite karena dirasa lebih murah. Maompang mengungkapkan bagaimana seharusnya volume BBM yang dapat subsidi dan kompensasi, bisa dialokasikan untuk kegiatan lain yang lebih produktif. Itulah mengapa lalu ada pembatasan penerima BBM bersubsidi. Tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Nanti revisinya akan mengatur penerima Jenis BBM Tertentu (JBT) Solar dan dan memuat aturan konsumen Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite. Dengan begitu BBM subsidi bisa lebih tepat sasaran. Rasanya revisi ini akan berdampak positif mengingat kini sudah ada perubahan dengan DKI Jakarta yang sudah mengalami tren penurunan volume penyaluran BBM, yakni 2-3% dari sebelumnya yang 5% dari penyaluran nasional.
Diharapkan pula tren keadilan ekologis di Jakarta juga akan terwujud. Bila saat ini kriteria penerima BBM subsidi dan jenis kendaraan roda 4 yang tidak akan mendapatkan BBM subsidi belum ditentukan secara jelas sehingga timbul pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan. Pengawasan BBM subsidi juga belum efektif, sehingga belum bisa dibilang tepat sasaran. Namun peraturan tetap menyebutkan bahwa masyarakat ekonomi kelas atas yang menggunakan mobil mewah dipastikan tidak akan menerima BBM subsidi karena tergolong masyarakat mampu.
Saat ini pengendalian BBM bersubsidi berfokus di DKI Jakarta. Sebab sebagai Ibu Kota, DKI Jakarta merupakan barometer nasional. Tidak hanya menyoroti soal pengendalian BBM bersubsidi, emisi juga jadi poin penting. Kendaraan yang melebihi standar emisi juga bisa terkena pajak pencemaran lingkungan. Bila memenuhi baku mutu standar emisi, maka tidak ada pajak tambahan tersebut. Ada juga peraturan yang menyebutkan bila kendaraan belum lulus uji emisi, entah karena bahan bakar ataupun teknologi kendaraan yang digunakan, maka kena parkir progresif yang tarifnya lebih mahal dari parkir biasa. Dengan demikian diharapkan kendaraan-kendaraan yang ada tidak lagi enggan melakukan uji emisi dan menekan tingkat polusi yang dihasilkan.
Hasil uji emisi juga tergantung dari teknologi kendaraan yang digunakan. Hasil uji emisi pada kendaraan keluaran di atas tahun 2016 tampaknya lebih baik dibandingkan yang di bawah 2016. Salah satu manfaat dari melakukan uji emisi untuk kendaraan pribadi adalah agar tahu bagaimana kualitas emisi yang dihasilkan. Namun juga dibutuhkan bengkel atau institusi penyedia uji emisi yang murah, dengan harga terjangkau yang tidak memberatkan masyarakat. Nantinya dengan pengoptimalan uji emisi, maka bisa jadi salah satu syarat pembayaran pajak ataupun pembayaran parkiran kendaraan.
Bicara soal BBM dan emisi juga tidak luput dari peran transportasi publik yang punya andil besar dalam penghematan serta menurunkan jumlah polutan. Dinas perhubungan yang dalam diskusi publik ini diwakili oleh Syafrin menjelaskan bagaimana transportasi publik yang memiliki standar pelayanan minimum sesuai ketentuan sangat diharapkan. Ini membuat ekspektasi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan terbaik jadi terpenuhi. Dengan begitu masyarakat tidak akan ragu untuk beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum.
Tercatat di tahun 2017, pengguna Transjakarta ada sekitar 350 ribu orang. Kemudian setelah dilakukan perbaikan di segala bidang, jumlah penumpang naik signifikan sebanyak 3 kali lipat, jumlahnya mencapai lebih dari 1 juta pengguna di Januari 2020. Dengan demikian maka ada penghematan penggunaan BBM yang terjadi. Selain itu jumlah emisi sedikit sehingga polutan berkurang. Kualitas udara DKI Jakarta pun membaik.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berupaya membuat senyaman mungkin kendaraan umum dengan memberlakukan standar minimal yang tinggi. Dengan begitu diharapkan masyarakat juga bisa mendapatkan kenyamanan yang setara dengan kendaraan pribadi. Jadi nantinya tidak ada perbedaan 'rasa' naik kendaraan pribadi dan kendaraan umum. Apalagi bila kendaraan umum memiliki kelebihan yang sangat dibutuhkan untuk bertahan hidup di kerasnya Ibu Kota, yaitu kepastian waktu.
Seperti yang kita tahu, dengan menggunakan kendaraan umum maka bisa tahu estimasi perjalanan dari daerah satu dan lainnya. Ini karena kendaraan umum punya jalur yang steril. Seperti KRL dan Transjakarta yang jalurnya terpisah dari kendaraan lainnya. Sudah ada jadwal berangkat pula. Dengan menggunakan moda transportasi umum bisa terhindar dari kemacetan dan jadi tepat waktu.
Ada upaya dari Pemprov DKI yang tengah mengembangkan account based ticketing berbasis kartu sehingga memberikan dampak subsidi tepat sasaran. Adanya account based ticketing membuat jadi bisa mengetahui profil pengguna transportasi umum. Apakah pengguna kendaraan umum itu pegawai, guru, pelajar, keluarga pahlawan, atau bahkan dari instansi pemerintahan. Bila saat ini tarif yang berlaku sama, artinya aspek keadilan belum terlaksana karena harusnya tarif itu dibebankan berdasarkan jumlah pendapatan. Nantinya subsidi bisa diberikan sesuai dengan kriteria dan ketentuan yang diberlakukan.
Selain nantinya masyarakat bisa mendapat tarif berbeda sesuai dengan kondisi ekonomi dan datanya terintegrasikan dengan Dukcapil, dengan pengembangan account based ticketing berbasis kartu ini pula apabila kartu hilang pun maka saldo tidak akan ikut hilang. Tinggal melapor pada petugas terkait. Nantinya bisa dicek di server lalu diganti kartu baru dengan isian sejumlah sisa saldo yang dimiliki sebelumnya. Inilah keunggulan dari inovasi dinas perhubungan yang tengah dirintis, semoga saja segera rampung dan bisa dimanfaatkan sebaik mungkin.
Perlukah Mempertahankan Subsidi BBM?
Penetapan kenaikan harga BBM bersubsidi memang dilematis. Bila tidak dinaikkan, maka akan menekan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), karena beban subsidi BBM dan subsidi listrik yang meningkat sehingga bisa memicu kenaikan defisit anggaran. Namun bila harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan maka bisa memicu inflasi yang selanjutnya juga bisa memberatkan masyarakat.
Prof. Tri Yuswidjajanto Zaenuri dari Kelompok Keahlian Konversi Energi Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB menerangkan bahwa mestinya kepentingan politik dikesampingkan dahulu untuk masalah BBM ini. Apalagi kejadian polusi udara akibat penggunaan bermotor begitu besar. Bila menggunakan BBM yg lebih baik, maka daya akan tinggi dengan berkurangnya konsumsi BBM. Dengan berkurangnya konsumsi BBM maka polutan juga berkurang, sehingga kejadian pemanasan global juga bisa ditekan.
Dari tahun ke tahun sebenarnya sudah ada regulasi yang ketat. Sayangnya tidak semua BBM memenuhi regulasi tersebut, apalagi uji emisi juga belum maksimal dilakukan. Ini menjadi PR pemerintah di masa kini. Sekaligus juga harus lebih mengedukasi masyarakat akan kelebihan BBM berkualitas seperti RON 92, yang lebih kita kenal dengan nama Pertamax.
Dilihat dari gambar di atas bisa dilihat bagaimana emisi rendah didapat dengan penggunaan Pertamax. Sayangnya masyarakat kita lebih suka menggunakan RON 90 atau yang biasa disebut Pertalite. Alasannya sepele, yaitu harga yang lebih murah. Padahal jarak tempuhnya lebih pendek dan Pertalite juga memiliki emisi yang tinggi. Tentunya penggunaan Pertalite sangat merugikan lingkungan.
Subsidi untuk Pertalite dan Solar (CN 48) jumlahnya begitu besar. Bisa dilihat bagaimana besaran subsidi ini setara dengan pembangunan infrastruktur yang lebih banyak manfaatnya untuk masyarakat luas. Dengan anggaran subsidi per tahunnya, bisa untuk membangun jalan, sekolah, rumah sakit, PLTU bahkan bisa untuk menambah anggaran BLT BBM. Sayangnya edukasi semacam ini masih belum tersampaikan dengan baik, malah gembar-gembor naiknya harga BBM yang menyebabkan tingginya harga pangan yang kemudian jadi lebih disorot.
Memang perekonomian masyarakat kurang mampu menjadi hal yang perlu dipikirkan untuk masalah pemberian subsidi BBM ini. Apalagi bagi mereka yang memiliki roda 2 dan digunakan untuk sarana mencari nafkah. Juga untuk kendaraan plat kuning yang merupakan bagian dari kendaraan umum, ini lebih mudah diidentifikasi untuk pemberian subsidi BBM. Pun pada ojek ataupun ojek online, lebih baik diberikan pajak yang lebih rendah dibandingkan pada para pemilik kendaraan roda 4 dari kelompok masyarakat mampu.
Penggunaan bahan bakar alternatif sejatinya diperlukan sebagai solusi dari permasalahan BBM ini, seperti migrasi ke gas pada tahun 80-an dan akhir 90-an. Karena pasokan gas lebih unlimited dibandingkan bahan bakar fosil yang merupakan sumber energi dari BBM. Sayangnya kebijakan ini masih belum dipikirkan secara serius, seperti adanya permasalahan di distribusi dan dukungan teknologinya. Apalagi juga muncul beberapa masalah seperti kecelakaan ataupun ledakan karena adanya pemakaian bahan bakar gas, sehingga menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran dalam penggunaannya.
Inilah yang juga menjadi alasan mengapa Pertalite tetap lebih dipilih oleh masyarakat, termasuk pada masyarakat mampu. Tercatat kendaraan roda 4 mengkonsumsi Pertalite sebanyak 70% dari total konsumsi nasional, dengan rata-rata penggunaan 23.5 liter sedangkan kendaraan roda 2 hanya 2.5 liter. Bahkan direktur eksekutif ReforMiner Institut, Komaidi Notonegoro, juga mengungkapkan bagaimana BBM bersubsidi belum sepenuhnya tepat sasaran, karena akhirnya lebih banyak dinikmati oleh masyarakat mampu yang memiliki kendaraan roda 4. Akibatnya pemberian subsidi BBM tidak bisa menurunkan angka kemiskinan serta ketimpangannya.
Pandangan Anak Muda tentang Pengendalian BBM Bersubsidi
Rupanya pembahasan pengendalian BBM bersubsidi tidak hanya disimak oleh kalangan pedagang, ibu-ibu yang biasa berbelanja kebutuhan pokok ataupun para bapak-bapak pekerja di lapangan saja, anak muda juga punya pandangan menarik soal ini. Seorang influencer bernama Tifani Hernang rupanya mengerti bahwa penggunaan BBM bisa menimbulkan polusi. Karenanya penggunaannya haruslah bijak, sebagai contoh dengan pemaksimalan penggunaan moda transportasi umum. Anak muda ternyata cukup sering memakai kendaraan umum. Menurut pengalamannya, dari Tangerang ke Depok bila memakai KRL maka bisa terbebas dari kemacetan dan bisa sampai tujuan dengan tepat waktu.
Serupa dengan Henry Chan yang juga menceritakan kalau dari Bintaro ke Jakarta Barat bila menggunakan kendaraan umum, bisa sekalian menjelajahi kota. Dengan berganti-ganti moda transportasi, maka akan mendapatkan banyak pengalaman baru. Bisa tahu tempat-tempat baru, kenalan baru, menghapal nama-nama tempat, hingga membuat content di sosial media, ini menjadi salah satu hal menyenangkan ketika naik kendaraan umum. Tentunya yang namanya anak muda pasti lebih suka menggali hal-hal baru di setiap harinya.
Lain halnya dengan Nadhea yang lebih menyukai memakai kendaraan pribadi untuk pergi kemana-mana. Menggunakan BBM berupa Pertalite, gadis berkerudung ini merasa lebih nyaman mengeluarkan biaya sekitar 10 - 15 ribu untuk pembelian BBM sebagai ongkos pulang pergi. Saat disodorkan pertanyaan apakah dia termasuk golongan yang berhak atau tidak untuk memakai BBM bersubsidi, Nadhea malah menjawab tergantung jarak tempuhnya. Bila dekat, maka dia merasa berhak memanfaatkan penggunaan BBM bersubsidi. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa ternyata tidak semua anak muda memahami apa dan bagaimana bentuk pengendalian BBM bersubsidi yang tepat sasaran.
Ada saran dari Muhammad Irsyad agar pemerintah melakukan sosialisasi atas kenaikan harga BBM bersubsidi. Setidaknya diberikan jeda waktu agar tidak kaget saat mengeluarkan dana untuk pengisian BBM. Misalnya bila sebelumnya dengan 40 ribu rupiah, tangki motor bisa penuh BBM tapi saat tidak tahu ada kenaikan harga BBM bersubsidi lalu dengan percaya diri minta diisi full dan ternyata uangnya kurang. Sosialisasi tentang pengendalian BBM bersubsidi kepada anak muda bisa melalui pemanfaatan sosial media yang sering dipergunakan, misalnya lewat Instagram ataupun TikTok dengan penyampaian yang khas dan bisa diterima oleh anak muda.
Prof. Tri dari ITB bahkan sempat sedikit menyinggung anak-anak muda yang suka membeli kopi seharga 30 ribu. Mestinya mereka tidak lagi menggunakan BBM bersubsidi. Apalagi anak muda juga suka nongkrong berganti-ganti tempat, dan itu tentunya membutuhkan BBM untuk sumber energi kendaraan yang dipakai. Standar pantas tidak pantas memang belum spesifik, namun hendaknya sebagai anak muda lebih memiliki etika moral dan pemahaman menyelamatkan bumi dengan pengurangan emisi dengan bijak memakai BBM berkualitas.
Kemajuan teknologi punya tujuan baik untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Meski tetap ada dampaknya pada lingkungan, seperti akibat pencemaran air, tanah dan juga udara. Dampak pencemaran ini selain menyebabkan masalah di lingkungan juga bisa menimbulkan masalah di kesehatan manusia. Utamanya bila ada polutan di udara yang disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor.
Edukasi soal bahan bakar dan dampaknya harus terus digalakkan agar pemahaman masyarakat lebih baik lagi. Selain hubungan antara kesehatan mesin dan penggunaan bahan bakarnya, juga ada emisi dan akibatnya bagi lingkungan dan kesehatan bumi juga manusia. Sosialisasi tentang bahan bakar bisa lewat banyak cara, seperti misalnya melibatkan influencer untuk peningkatan literasi di media sosial dan melibatkan blogger, jurnalis media dan juga pers mahasiswa untuk sharing edukasi lewat media cetak dan online mengenai pengendalian BBM bersubsidi yang tepat sasaran. Pun perbaikan moda transportasi umum bertarif terjangkau agar semakin layak dan disukai masyarakat sehingga membuat migrasi dari kendaraan pribadi ke umum, haruslah menjadi perhatian pemerintah.