Sedih sekali rasanya, pandemi tak jua usai. Padahal ini menjelang akhir tahun 2021, yang artinya sudah hampir 2 tahun kita semua terkungkung di permasalahan ini. Momok ini semakin nyata saat ada prediksi akan hadirnya pandemi gelombang ketiga yang diprediksi terjadi di akhir tahun nanti. Ah, sampai kapankah ini semua terjadi?
Padahal pemerintah sudah berusaha keras memupus permasalahan ini. Dari penggalakkan promosi kesehatan, perlakuan pembatasan kegiatan, hingga getol dalam vaksinasi. Namun langkah ini ternyata belum juga maksimal. Masih terlintas kisah pilu yakni beberapa bulan lalu, saat angka kejadian mereka yang terjangkit covid-19 sedang tinggi-tingginya, banyak tenaga kesehatan yang berguguran. Ya, merekalah garda terdepan dalam penanganan masalah virus yang pertama kali masuk ke Indonesia di awal Maret 2020 ini.
Tidak hanya tumbangnya banyak tenaga kesehatan, bahkan rumah sakit sempat kolaps. Instalasi Gawat Darurat tak bisa menerima pasien, pun kamar-kamar perawatan yang penuh pasien Covid-19. Sampai-sampai stok oksigen habis, bak barang langka dan sampai antre untuk mendapatkannya. Nah, masalah ini menjadi semakin pelik tatkala kemudian ada fakta yang menyebutkan bahwa rasio jumlah dokter Indonesia ternyata sangat rendah, yaitu 0,4 per 1.000 penduduk. Angka ini berarti hanya ada 4 dokter yang melayani sejumlah 10.000 jiwa penduduk. Angka ini kemudian semakin mengkhawatirkan dengan gugurnya sekitar 2000 tenaga kesehatan di masa pandemi.
Menurut dr Ardiansyah sebagai perwakilan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), “Rasio ideal menurut World Health Organization (WHO) adalah 1 per 1.000 pendududuk. Sedangkan pada saat ini Indonesia hanya punya sekitar 240 ribu dokter, dengan jumlah dokter umum ada 150 ribu. Nah kalau dibanding jumlah penduduk Indonesia sejumlah 270 juta, tentunya angka ini jauh dari keharusan yang 1 per 1.000 penduduk."
Miris ya. Ternyata jumlah dokter di negara kita begitu minim dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina, loh. Oiya fakta ini saya dapatkan setelah menyimak talkshow ‘Lika-liku Peran Dokter di Tengah Pandemi’ secara live di YouTube Berita KBR. Acara ini juga dapat didengarkan di 100 radio jaringan KBR seluruh Indonesia, 104.2 MSTri FM Jakarta, dan juga live streaming via website kbr.id. Talkshow interaktif ini dipandu oleh Rizal Wijaya sehingga kita bisa bertanya langsung via kolom chat di YouTube Berita KBR. Bisa juga bertanya via telepon bebas pulsa di 0800 245 7893 dan di WhatsApp di 0812 118 8181. Tidak hanya teman-teman disabilitas dan OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta) yang bisa menyimak dan memberikan komentar, kita semua yang ingin belajar dan mengenal apa itu kusta dan permasalahan serta penanganannya dalam bergabung dalam talkshow ini.
Gara-gara pandemi dimana kemudian banyak tenaga kesehatan, termasuk dokter, berguguran maka muncul masalah di mana banyak kelompok terdampak. Salah satunya adalah para penderita kusta, yang ada beberapa kasus diantaranya jadi terpaksa putus obat dan tidak mendapatkan layanan seperti biasa, seperti saat sebelum pandemi. Karena pandemi pula dimana kemudian banyak terjadi keterbatasan gerak dan aktivitas, sehingga temuan kasus baru kusta jadi menurun. Hal ini karena terbatasnya pelacakan kasus, sehingga kemudian terjadi meningkatnya angka keparahan dan atau kecacatan.
Sekedar gambaran, kusta yang oleh orang awam disebut lepra, merupakan penyakit infeksi bakteri kronis yang menyerang jaringan kulit, saraf tepi, serta saluran pernapasan. Kusta jugw dikenal sebagai penyakit Hansen atau Morbus Hansen. Penyakit ini ditandai dengan rasa lemah dan atau mati rasa di tungkai dan kaki, lalu timbul lesi pada kulit.
Kusta disebabkan bakteri bernama Mycobacterium leprae. Bakteri ini menular dari satu orang ke orang lainnya melalui percikan cairan dari saluran pernapasan (droplet), yang berupa ludah atau dahak yang keluar saat batuk atau bersin. Penyakit ini menular jika seseorang terkena percikan droplet dari penderita kusta secara terus-menerus dalam waktu yang lama. Sehingga bisa dikatakan kusta tidak dapat menular ke orang lain dengan mudah karena membutuhkan waktu lama agar bisa menyerang tubuh yang tertular.
Jadi seseorang tidak akan tertular kusta hanya karena bersalaman, duduk bersama, atau bahkan berhubungan seksual dengan penderita. Kusta juga tidak mudah ditularkan dari ibu ke janin yang dikandungnya. Namun hal ini masih belum banyak dipahami oleh orang kebanyakan sehingga perly sosialisasi lebih lanjut dan rutib. Salah satu sosialisasi yang gencar digalakkan ialah lewat Ruang Publik KBR yang bisa kita simak secara live ataupun via YouTube.
Nah dalam rangka Hari Dokter Nasional yang jatuh di tiap tanggal 24 Oktober, pada Jumat (29 Oktober 2020) lalu, Ruang Publik KBR yang dipersembahkan oleh NLR Indonesia menyajikan talkshow. Tema yang diangkat adalah 'Lika-liku Peran Dokter di Tengah Pandemi’. Nah dalam talkshow selama sejam ini menghadirkan 2 narasumber, yaitu dr. Ardiansyah, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan dr. Udeng Daman (Technical Advisor NLR Indonesia).
Dijelaskan lebih lanjut oleh dr Ardiansyah, “Selain kuantitas yang belum sesuai standar WHO, masalah utama ialah kurangnya distribusi dokter ke daerah terpencil. Hal ini karena belum adanya jaminan kesejahteraan, keamanan, kesehatan, dan pendidikan bagi para dokter di daerah. Karenanya jadi dibutuhkan peran serta pemerintah dalam mencari jalan keluar untuk atasi kurangnya distribusi dokter di daerah."
Karena talkshow ini bersifat interaksi, maka saya pun mengajukan pertanyaan di kolom komentar YouTube. Saya menanyakan apakah penderita kusta ini bisa berobat di fasilitas kesehatan tertentu atau bagaimana. Sebab setahu saya kan seringkali penderita kusta datang ke fasilitas kesehatan dalam keadaan terlambat atau dalam keadaan cacat. Padahal setahu saya kan penyakit kusta ini dapat disembuhkan, jadi semestinya juga tanpa harus disertai kecacatan. Yang jelas memang kuncinya di pengobatan secara tepat dan tuntas, nah di manakah tempat pengobatan tersebut seharusnya diberikan?
Kata kata dr. Udeng Daman malah di daerah terpencil, kusta belum tereliminasi sempurna. Kalau berdasarkan data dari Kemenkes RI ada sekitar 110 kabupaten atau kota yang tersebar di 21 provinsi yang belum mencapai eliminasi kusta. Artinya memang beberapa provinsi sudah berstatus tereliminasi, akan tetapi sebarannya masih belum tereliminasi. Contohnya daerah Jawa Barat dimana ternyata masih ada di 3 kabupaten, atau di Aceh di 1 kabupaten lagi. Kalau di 7 provinsi lainnya, misalnya Papua dan Papua Barat memang statusnya masih belum tereliminasi.
Nah perbedaan eliminasi kusta di setiap daerah ini tentunya tergantung pada faktor lingkungan, sanitasi, kepadatan penduduk, sosial ekonomi, dan perilaku hidup sehat. Pun pada tantangan stigma negatif di masyarakat. Selain masih kurangnya kesadaran penderita untuk memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan, para penderita kusta punya perasaan takut dan malu, hingga kemudian penderita kusta akan menyembunyikan diri dan tidak mau keluar rumah untuk berobat. Kalau sudah begini tentu tak akan terlacak, kemudian jadi tak bisa mengobati secara dini.
Menjawab pertanyaan saya, dr Udeng Daman menyebutkan bahwa pelayanan kusta dapat diakses di semua fasilitas kesehatan terdekat, baik di negeri maupun swasta. Bahkan dokter praktek baik di daerah endemik atau bukan semestinya juga bisa melayani. Nah obatnya diberikan secara gratis di Puskesmas, sehingga diberi rujukan dari dokter yang memeriksa untuk lanjut ke Puskesmas. Dengan demikian diharapkan kesadaran untuk deteksi dini terhadap kusta semakin baik dan meningkat.
Pemberantasan kusta bukan hanya tugas tenaga kesehatan, utamanya dokter saja. Tapi kita semua bisa berperan dalam penanganan masalah ini. Dengan semua pihak yang saling bersinergi maka tidak mungkin di 2024 nanti akan tercapau eliminasi kusta di Indonesia. Bahkan dr. Udeng Daman menutup dengan pesan, “Tidak hanya tereliminasi tetapi penanganan kusta juga harus mencapai 3 zero. Ketiganya ini yaitu zero transmission (nihil penularan), zero disability (nihil disabilitas), dan zero exclusion (nihil eksklusi)."
Yuk ikut sebarkan informasi ini. Beri pesan pada penderita kusta yang kita kenal kalau berobat di Puskesmas itu obatnya gratis. Dengan pengobatan tuntas, pendeteksian dini kusta tak akan berujung kecacatan. Memang pengobatan kusta itu lama, namun jangan sampai menyerah. Selain dokter, kita sebagai warga biasa juga bisa berperan penting dalam pemberantasan penyakit kusta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca ^^
Tolong berkomentar dengan sopan yaaa... Maaf kalau ada yang belum terjawab :*