Situasi saat ini saya rasakan begitu tak kondusif. Walau dikatakan sebagai era new normal, rasanya tetap saja bukan ini kehidupan nyaman yang kita butuhkan. Di masa ini, tiap kali keluar rumah, kita harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Mulai pakai masker, bawa hand sanitizer, mengusahakan sering cuci tangan bila memungkinkan hingga menjaga jarak. Tentu kebebasan yang sebelumnya kita rasakan jadi tak benar-benar terasa di era sekarang, gara-gara pandemi ini.
Bila diingat-ingat, harusnya saya bersyukur karena tinggal di pulau Jawa. Ada banyak kemudahan yang didapatkan saat tinggal di pulau terpadat di Indonesia ini. Terlebih di Jawa Timur, di mana mencari apapun yang dibutuhkan selalu ada kemudahan. Entah itu kemudian berkaitan dengan bidang ekonomi, jasa, pendidikan ataupun kesehatan. Semua ada dan bila harus mengeluarkan biaya pun masih sangat terjangkau.
Tinggal di Jawa Timur bak tinggal di surga, begitu komentar sepupu saya yang saat ini terpaksa merantau ke Papua karena harus mengikuti suaminya yang seorang tentara nasional Indonesia. Katanya, di Bumi Cenderawasih hanya ada beberapa toko besar. Mall? Hanya ada di ibukota provinsi dan itupun cuma satu, tak sebesar di Sidoarjo pula. Makanan di sana serba mahal, misalnya kerupuk yang hanya seribu rupiah di sini menjadi tiga ribu rupiah sebungkus di Merauke. Gaji yang diterima memang lumayan, tapi bila dibandingkan dengan biaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang luar biasa juga pengeluarannya, maka tak ada artinya.
Mahalnya Biaya Kesehatan
Sepupu yang kini putranya berusia 2 tahun, bercerita kalau biaya pemeriksaan kehamilan di tanah Papua begitu selangit. Kalau USG 4 dimensi di Sidoarjo sekitar 400 ribu rupiah dan itu sudah paling mahal, di sana mencapai lebih dari sejuta. Belum lagi tebus obatnya, padahal merek generik. Lalu dokter spesialis kandungan juga jarang, sepupu yang sebelumnya tinggal di Jayapura, hanya menemukan seorang dokter kandungan.
Sangat jauh berbeda dengan di Sidoarjo. Di kota sebelah ibukotanya Jawa Timur ini, ada begitu banyak klinik bersalin yang bisa dijangkau. Pilihan dokter kandungan pun ada banyak. Untuk beli vitamin, biaya sekali periksa di Papua sama dengam biaya periksa dari awal hamil sampai melahirkan di tanah Jawa...itu kata sepupu saya. Mungkin alasan ini pula yang membuatnya pulang kampung ke Sidoarjo saat akan bersalin. Agar biaya persalinan dan perawatan pasca bersalin dapat ditekan, dan dapat penanganan yang optimal.
Dari pengalaman sepupu, saya jadi membayangkan bagaimana seandainya saya menjadi seorang pemimpin, maka apa yang akan saya lakukan untuk Indonesia? Pastinya yang utama saya lakukan adalah perbaikan di bidang Kesehatan di Indonesia. Ini juga sebagai peran generasi muda sebagai penentu nasib negeri ini di masa depan. Kesehatan ialah faktor utama yang memberi banyak efek di bidang lainnya. Contoh nyatanya ada di masa ini, di mana kesehatan yang memburuk kian memperburuk juga kondisi perekonomian, kestabilan keamanan dan siklus kehidupan lainnya.
Salah satu daerah yang patut mendapat perhatian lebih di bidang kesehatan adalah di Bumi Cendrawasih, Papua. Di sini, tujuan pembangun bidang kesehatan adalah demi meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Papua yang ditandai dengan menurunnya tingkat kematian ibu dan anak. Selanjutnya baru berfokus pada menurunnya tingkat kesakitan penyakit dominan. Karena itulah dibutuhkan percepatan pembangunan bidang kesehatan agar maksimalnya program tersebut.
Sayangnya setahu saya, jumlah fasilitas kesehatan di Papua dapat terhitung dengan jari. Luasnya wilayah dengan bentuk demografi yang ekstrim, terkadang membuat lama dan sulitnya jarak tempuh menuju fasilitas kesehatan, baik itu puskesmas maupun rumah sakit. Akibatnya proses rujukan menjadi sulit. Padahal di Sidoarjo saja bila ada kendala di persalinan, seperti persalinan macet, maka harus segera dilakukan rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap agar penanganan dapat berlangsung cepat sehingga ibu dan bayi selamat. Lalu bagaimana dengan di Papua?
Masalah tak hanya di jumlah fasilitas kesehatan. Rupanya juga belum maksimal soal program peningkatan akreditasi rumah sakit maupun 15 program prioritas kesehatan lainnya. Bahkan sampai saat ini baru ada 2 puskesmas yang terakreditasi di Papua, yakni Puskemas di Kampung Harapan dan Dosay di Kabupaten Jayapura. Sungguh miris. Padahal akreditasi merupakan salah satu penilaian bahwa fasilitas kesehatan tersebut sudah sesuai dengan standar yang seharusnya.
Saya juga dengar selentingan kalau menjadi tenaga kesehatan di Papua yang diangkat jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu jauh lebih mudah dibanding di tanah jawa. Alasannya karena jumlah saingan minim, sebab jarang ada yang mau ditempatkan di pulau timur Indonesia ini, pun warga asli Papua jarang ada yang menempuh pendidikan kesehatan. Mereka yang sudah diangkat menjadi PNS, utamanya tenaga kesehatan baik dokter, perawat, bidan dan sebagainya, akan kesulitan kembali ke Jawa. Artinya harus terus menetap di tanah Papua dan banyak yang tak memilih untuk mengambil peluang ini. Termasuk...sepupu saya yang sejatinya lulusan kebidanan.
Bila saya menjadi pemimpin, maka yang ingin saya perbaiki adalah tentang jumlah dan mutu tenaga kesehatan. Ini menjadi yang utama harus lekas diselesaikan sebelum fasilitas lain diperbaiki. Sebenarnya banyak orang timur yang mengambil pendidikan kesehatan di Jawa, namun kebanyakan dari mereka tak mau kembali ke daerahnya dan malah menetap di Jawa dengan cara mencari kerja di sini. Akibatnya meski saat ini sudah banyak orang pintar yang berasal dari Indonesia Timur, namun tak mau kembali memajukan daerahnya sendiri.
Sebagai pemimpin, nantinya saya akan perbaiki sistem ini. Dengan melakukan perjanjian sebelum generasi muda Papua menuntut ilmu di pulau lain. Mereka yang berprestasi akan diberikan perjanjian untuk dikuliahkan dengan beasiswa sesuai minat dan kemampuan, utamanya di bidang kesehatan, lalu setelahnya harus kembali ke Papua dan mengamalkan ilmunya. Niscaya bila tiap kelurahan ada minimal seorang tenaga kesehatan, maka masalah kesehatan akan teratasi sebab masyarakat sudah teredukasi soal kesehatan dengan baik.
Selanjutnya melakukan pembangunan fasilitas kesehatan per kota / kabupaten. Minimal 1 rumah sakit pusat dengan puluhan puskesmas di tiap kota / kabupaten, niscaya akan cukup memenuhi kebutuhan masyarakat Papua. Setidaknya untuk melakukan rujukan tak akan terlalu memberatkan, meskipun mungkin masih melalui sungai besar ataupun hutan, namun masih dalam 1 lingkup dan tak terlalu jauh. Penanganan masalah kesehatan akan jauh lebih cepat dan angka kematian ibu - bayi dapat diturunkan.
#Kabarhutanku #GolonganHutan #GolHutXBPN #BlogCompetitionSeries
Iya pemerataan pendidikan dan fasilitas kesehatan pernting banget
BalasHapusMiris memang, tapi beberapa tahun belakangan ini Papua mulai dilakukan pembangunan mudah2 an kedepannya Papua sama seperti Jawa.
BalasHapus