"Uh!"
Lagi-lagi ada asap pembakaran yang masuk rumah. Hampir setiap sore, Mbah Uthi membakar sampah plastik di halaman rumah. Kami tak kuasa mencegah, sebab meski berulang kali diingatkan namun pikun yang beliau derita sudah akut. Kebiasaan itu terus berulang dan kami hanya bisa maklum.
Namanya juga zat gas, sifatnya mampu memenuhi ruangan meski lewat lubang terkecil sekalipun, ventilasi dapur misalnya. Selain aromanya yang tak sedap, asap pembakaran juga mengandung komponen gas yang membuat rasa tak nyaman pada saluran pernafasan dan membuat iritasi pada mata. Ada karbondioksida (CO2), karbon monoksida (CO), partikel-partikel padat berukuran mikro yang berupa karbon, juga banyak zat kimia sebagai hasil pembakaran seperti dioksin, akrolein dan lain sebagainya. Bila asap pembakaran terhirup, juga bisa menyebabkan batuk-batuk dan sesak nafas, yang bila berkelanjutan bisa sebagai tanda terjadinya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Padahal asap pembakaran yang dihasilkan dari rutinitas pembakaran sampah tak seberapa banyak, tapi dampaknya begitu mengganggu. Saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya bila berada di daerah yang dekat dengan titik api atau hotspot. Apalagi bila terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dimana area yang terbakar sungguh luas dan menyebabkan berlangsungnya kebakaran selama berjam-jam. Tentu asapnya tak hanya membumbung tinggi, tapi juga mampu mengganggu jarak pandang.
Penyebab Karhutla
Saya sering bertanya-tanya, apa yang menjadi penyebab karhutla? Bukankah bila ada api, pasti akan terlihat dan bisa langsung diantisipasi? Contoh mudahnya, pembakaran sampah. Areanya sempit tapi bisa terlihat. Apalagi bila area yang terbakar itu luas, pasti dari jauh pun orang bisa tahu, kan?Rupanya masalah karhutla tak sepele yang saya pikir. Ada banyak hal yang menyebabkan karhutla. Hal ini saya pahami setelah mendengarkan Ruang Publik KBR lewat live YouTube Berita KBR pada Jumat, 12 Juni 2020 pukul 09.00 - 10.00 WIB lalu. Temanya adalah Kemarau dan Ancaman Karhutla di Tengah Pandemi, dengan host Kak Eka July dan 2 narasumber yang kompeten di bidangnya. Beliau adalah Ibu Anis Aliati, sebagai Kasubdit Pencegahan Karhutla - Direktorat PKHL, Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Juga ada Bapak Prof. Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Perlindungan Hutan dari Fakultas Kehutanan IPB.
Penyebab alami utama penyulutan kebakaran hutan adalah cuaca kering atau kemarau, petir dan juga erupsi vulkanik. Itulah mengapa pemerintah, utamanya KLHK menjadi siaga ketika memasuki musim kemarau sebab kebakaran hutan dan lahan masih menjadi bencana tahunan di negeri ini. Terlebih Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan secara umum pulau Sumatera terutama di Riau, juga sebagian Sumatera Utara dan Jambi sudah memasuki musim kemarau dan berdasarkan citra satelit Terra dan Aqua KLHK pada awal Mei lalu sudah muncul lebih dari 700 hotspot.
Selain penyebab alami, masih ada ulah manusia yang menjadi penyebab karhutla. Contoh ulah atau aktivitas manusia yang menjadi modus penyebab karhutla adalah pembukaan lahan dengan pembakaran tidak terkendali dengan berbagai kepentingan, misalnya untuk penyiapan lahan budidaya, perumahan ataupun peruntukan kepentingan ekonomi lainnya. Bahkan pada Februari lalu, Presiden Jokowi menyatakan hampir 99% hutan dibakar sengaja oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Namun siapa yang bertanggung jawab soal ini tak hanya jadi urusan pemerintah, sebab masyarakat juga bisa turut membantu. Tanggung jawab kita tak hanya soal bagaimana bila kebakaran itu terjadi, tapi juga soal bagaimana pencegahan atau antisipasi karhutla agar tidak membabi buta.
Korelasi Karhutla dan Kualitas Udara
Seperti yang saya paparkan sebelumnya bahwa asap mengandung sejumlah gas dan partikel kimia yang mengganggu pernapasan. Asap dari karhutla tentunya bervolume sangat besar, hingga mampu menyebabkan kabut asap yang menyesakkan nan menggangu pandangan. Tentunya ini membuat udara jadi tak sehat lagi, yang mana bila terhirup bisa menyebabkan gangguan pernafasan dan menimbulkan ISPA.Dalam bentuk paling ringan, terpapar kabut asap bisa menyebabkan iritasi mata, tenggorokan, hidung serta menyebabkan sakit kepala. Selanjutnya bila semakin lama terhirup bisa menyebabkan penyakit paru obstruktif kronik, penyakit jantung, dan iritasi. Itulah mengapa di saat kabut asap terjadi, kita disarankan untuk tetap di dalam ruangan dengan jendela dan pintu tertutup, mengurangi aktivitas di luar rumah, menggunakan masker, baju lengan panjang dan celana panjang. Mirip seperti gerakan di rumah saja saat pandemi, ya.
Korelasi Karhutla dan Angka Kejadian Covid-19
Hotspot adalah indikator kebakaran hutan dengan mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi dibandingkan suhu di sekitarnya. Tapi tidak semua hotspot jadi titik api, hanya indikasi. Nah sampai dengan 11 Juni 2020 lalu, berdasarkan pantauan satelit Terra dan Aqua LAPAN terpantau 731 titik. Jumlah ini bila dibandingkan dengan tahun 2019, terdapat penurunan sebanyak 335 titik atau 31,43 %.Jangan keburu senang. Fakta ini tentunya selain memunculkan ancaman kebakaran, juga dipastikan akan memiliki dampak lanjutan langsung. Dampak tersebut ialah meningkatnya risiko penularan covid-19 pada masyarakat di sekitar wilayah karhutla. Dari beberapa literatur menunjukkan bahwa pencemaran udara dan asap kebakaran meningkatkan penyebaran virus corona karena kejadian peluang virus melayang lebih lama di udara kian meningkat. Hal ini karena adanya kondisi aerosol yang diciptakan asap kebakaran.
Tak hanya itu, kita yang sehat pun bila tak sengaja menghirup asap kebakaran pun secara otomatis akan merasa sesak, bersin dan juga batuk. Apalagi mereka yang punya masalah pernapasan bawaan sebelumnya, seperti asma dan pneumonia. Seperti yang kita tahu, Covid-19 bisa memperberat penyakit yang diderita. Karena itulah karhutla bisa menyebabkan tingginya tingkat kerentanan penderita virus corona.
Pemerintah lewat KLHK telah melakukan perubahan paradigma sejak 2015 lalu, yakni mengedepankan pencegahan karhutla. Sebab kalau sudah terjadi kebakaran, apalagi di lahan gambut, maka upaya untuk memadamkannya sudah sangat luar biasa. Meski saat ini kita menghadapi masa sulit akibat penyebaran Covid-19, namun kerja lapangan dan koordinasi tim supervisi tetap jalan mengantisipasi karhutla, terutama pada wilayah rawan. Tim Satgas lapangan terus siaga dan bahu-membahu. Bahkan kini berupa tim gabungan dari anggota Manggala Agni KLHK, TNI, Polri, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), BMKG, unsur pemda lainnya, swasta, Masyarakat Peduli Api (MPA), dan masih banyak lagi.
Masyarakat awam seperti kita juga bisa turut membantu dengan melakukan upaya pencegahan penularan Covid-19 seperti menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai antisipasi agar antisipasi karhutla tak semakin panjang dampaknya. Kita juga bisa jadi masyarakat peduli api (MPA), dengan bisa membantu petugas dalam upaya pemadaman karhutla di lingkungannya masing-masing setelah mendapatkan pelatihan teknis pengendalian karhutla. Pun juga bisa dengan melindungi kawasan gambut lewat tata kelola air yang baik sehingga tingkat kebasahan lahan gabut tetap bisa dipertahankan.
Dengan gencarnya kita melakukan antisipasi karhutla, niscaya kualitas udara kita akan tetap terjaga dengan baik. Kita bisa terus menghirup udara bersih dengan nyaman tanpa rasa sesak. Pun niscaya tak akan memiliki penyakit penyerta, seperti ISPA, yang bisa semakin parah dan meningkatkan angka kematian bila terkena Covid-19. Semoga kita semua selalu sehat walafiat, ya.
Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.
mengapa di Klaten dimulai New Normal tetapi malah tingkat positif makin meningkat
BalasHapuspositif apa nih? sebab saya bahas karhutla.
HapusKalau kebakaran hutan semakin lebar, tentunya sangat merusak ekosistem mkhluk hidup lainnya. Sedih klo liat di tv orang utan byk jd korban
BalasHapusAsap pembakaran sampah saja bikin sesak ya apalagi karhutla. Semoga titik api yang ada gak meluas.
BalasHapusAku beneran serem mba. Lagi pandemi gini tapi kita harus bersiap-siap ngehadepin kekeringan dan karthula ini. Semoga tahun ini nggak ada kebakaran hutan ya mba. Nggak kebayang aku
BalasHapusKalau kebakaran hutan semakin melebar tentunya akan merusak ekosistem mahluk hidup yang lain, semua karhutla bisa dihentikan dengan kesadaran manusianya.
BalasHapusMoga enggak terjadi lagi karhutla tahun ini. Inget tahun sebelumnya, dampak pencemaran udara dan kesehatan paling terasa terutama untuk daerah sekitar.
BalasHapusKarhutla ini jadi bencana tahunan ya mbak, tapi bakal lebih komplkes karena lagi pandemi
BalasHapusBencana tahunan, ini kasus kek polisi salah tangkap, yg bakar siapa yg ditangkap siapa. Kalo pengalaman aku di hutan pas kebakaran ga sesak sih krn msh byk hutan kali ya, malah lebih bikin sesak bau kali di jakarta 🥺
BalasHapusSemoga bencana langganan yang sudah menahun ini bisa menemukan solusi terbaik ya kasihan banyak masyarakat terdampak
BalasHapusSemoga tidak ada kebakaran hutan tahun ini. Semoga titik-titik api segera teratasi dan tidak membesar. Kasihan banget masyarakat kita dan juga negara tetangga. Kondisi pandemi begini bikin organ pernafasan lebih rentan.
BalasHapusDi tempat aku karhutla jadi bencana langganan yang sering mengancam diam dian, butuh perhatian bersama agar tak jadi bencana yang berketerusan
BalasHapusSemoga tahun ini karhutla bisa berkurang bahkan kalau bisa nggak ada sama sekali. Kasian masyarakat yang terdampak, apalagi kalau sudah terlanjur besar tuh bisa ke mana-mana asapnya.
BalasHapusAku berharap masalah karhutla ini segera bisa diatasi dengan atauran yg tegas ya. Krn bs merugikan bnyk orang
BalasHapusKarhutla memang selalu jadi ancaman serius, ya. Duh, kapan bencana buatan manusia ini berakhir, coba.
BalasHapusRasanya ngegemesin kalau baca tentang karhutla
Selalu sedih sekaligus prihatin tiap denger berita ttg karhutla, apalagi kabut asap yg dampaknya jelas jelek untuk kesehatan. Huhu semogaa makin banyak yg peduli ttg ancaman Karhutla dan bisa antisipasi terhadap kemungkinan dampak yg terjadi. Tp kalau melihat usaha yg dilakukan oleh Satgas Karhutla, moga kemarau ini tidak ada karhutla yg terjadi di wilayah indonesia. Kondisi pandemi jd makin susah kalau ada karhutla 😥
BalasHapusNampaknya kita juga buruh banyak influencer untuk sosialisasi kebakaran hutan ya, thanks banget mbak untuk tulisannya yang bagus ini.
BalasHapusSemoga kedepannya tidak ada lagi kebakaran hutan di Indonesia maupun dunia ini.