Penulis: Naima Knisa
Cetakan: 1, 2014
Tebal: viii + 244 halaman, 13x19 cm
Penerbit: GagasMedia
ISBN: 979-780-744-4
Ini adalah kisah tentang teman jadi lawan. Bisa jadi, kamu juga mengalaminya.
Atas semua yang kamu miliki, ia tidak bahagia. Atas semua yang kamu lakukan, ia tidak peduli. Padahal, dulu, kalian pernah berjanji untuk berjalan bersisian, menuju impian yang sama.
Ya, Estu, ini kisah kau dan aku. Aku yang bukan “siapa-siapa” menjadi titik lemahku bagimu. Begitukah?
Maaf, aku tidak selemah itu. Aku belajar banyak dari kecuranganmu selama ini. Belajar untuk bisa menjadi lebih daripada dirimu.
Tenang saja, waktu akan menjawab “siapa aku, siapa kamu”. Juga tentang siapa teman, siapa lawan.
Kuncoro memang bukan siapa-siapa. Ia anak abdi dalem yang menolak meneruskan profesi orang tuanya. Ia ingin membuat gebrakan, menjadi koki terkenal yang bisa merubah nasib dan mengangkat derajat keluarganya. Sayangnya ... obsesi tersebut membuat ia buta. Buta hati.
Estu, sahabat masa kecilnya yang merupakan keturunan Kraton Solo, dianggapnya sebagai penyebab dari segala kegagalan dalam hidupnya. Mulai dari tak teraihnya beasiswa di Le Cordon Bleu karena tiba-tiba nama Estu ada di urutan 5 besar, restoran Omah Jawa yang kehilangan pelanggan karena Raos Kedhaton milik orang tua Estu yang memikat lidah banyak orang, hingga Gendis yang kemudian memutuskan hubungan dengannya.
Gendis, kekasihnya, yang awalnya ia minta untuk mendekati Estu guna mendapatkan resep-resep rahasia, malah berbalik memusuhinya. Orang tua Gendis pun yang terlanjur kecewa atas kebangkrutan yang dialaminya karena Omah Jawa tak kunjung ramai pengunjung, meminta anak gadisnya menjauhi sang koki. Dari situ kemudian Estu dan Gendis semakin dekat, bukan saja karena hubungan rekan bisnis antar kedua orang tua, namun juga karena kecocokan mereka saat mengobrol. Estu romantis dan kalem, tidak seperti Kuncoro yang terlalu ‘kaku’ dan hanya memikirkan dirinya sendiri.
Bagaimana nasib Kuncoro selanjutnya? Dapatkah ia membalikkan keadaan dan mewujudkan segala impiannya? Mampukah ia kembali mendapatkan cinta Gendis? Semuanya akan terjawab di dalam novel ini.
Akhirnyaaa... setelah sekian lama tidak membaca buku (gratisan), saat bahagia tersebut tiba jua. Ini pertama kalinya saya membaca hasil akhir kompetisi menulis novel Seven Deadly Sins yang diadakan GagasMedia. Hahay ... ini toh salah satu jawaranya. Apa yaaa yang bikin naskah ini disukai para dewan juri? Ternyata ... banyak kejutan di dalamnya! Sungguh, saya tak menyangka karya mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi UNDIP secetar ini!
Ima (panggilan akrab penulis), pandai merangkai kisah. Saya kira ini juga membutuhkan penelitian tentang isi nan silsilah kraton yang tidak main-main. Ia begitu detail menggambarkan bagaimana suasana kraton, busana para abdi dalem yang dipakai Simbok dan Bapak, serta mitos tentang Nyai Menggung Gandarasa. Jujur, saat membaca bab tentang warisan alat masak kraton, saya jadi teringat salah satu film televisi yang pernah saya tonton. Kisahnya juga tentang alat masak peninggalan karton yang berfungsi membuat enak segala masakan yang dimasak dengan alat masak tersebut. Di sini pun, sang tokoh Kuncoro berpikir demikian. Andai ia tahu bagaimana kisah yang sebenarnya ... Andai ia mendengarkan percakapan Gendis dan Estu dengan seksama ...
Tokoh utama tentulah Kuncoro, sang pemiliki sifat iri dengki yang luar biasa. Begitulah orang iri, ia selalu merasa dirinya benar, hebat dan tidak mau tahu bagaimana perjuangan orang lain. Kalau ia kalah, sang pemilik sifat iri menghalalkan segala cara agar ia dapat menang. Ih, gemas dengan Kuncoro. Kalau saya bertemu dengannya di alam nyata, inginnya saya tampar dan kasih lihat rekaman kejadian bagaimana sebenarnya hubungan Gendis dan Estu selama ini.
Estu yang begitu sabar, seperti halnya keturunan kraton yang lain. Ia memiliki sifat bijaksana, walau akhirnya semakin sering diusili oleh Kuncoro. Sebagai lelaki normal, tentulah ia tergoda akan kecantikan hati dan fisik Gendis yang tiba-tiba mendekatinya. Toh saat tahu apa misi Gendis, ia tak marah. Bahkan memaklumi. Luar biasa. Di manakah lelaki seperti itu bisa saya temui di alam nyata?
Alur yang dipakai maju-mundur. Flashback dikisahkan dengan tidak terburu-buru, membuat pembaca semakin memahami bagaimana kisah antara Kuncoro dan Estu sewaktu mereka masih bersahabat. Pembaca dapat mengambil hikmah bahwa komunikasi ialah segalanya. Kalau komunikasi tak terjalin dengan baik, seerat apapun hubungan antar manusia pasti yaaa kacau jadinya.
Saya terpukau dengan setting kraton dan restoran yang diceritakan. Saya jadi membayangkan duduk di kursi ukir Omah Jawa sambil menanti pesanan saya tersaji. Lalu mencicipi gurih dan kenyalnya tengkleng plus nasi hangat yang ... hmmm... saya jadi lapar. Di novel ini pun diberi resep tentang bagaimana membuat tengkleng bumbu kecap (eh) ala Estu. Enak! Enak! Saya juga ingin menjelajahi Solo, mencari mana sih yang namanya Omah Jawa dan Raos Kedhaton. Mungkin saja ada, kan?
Sedikit saran, untuk prolog harusnya ditulis kisah yang lain. Karena dalam Best Rival malah mengambil secuil kisah saat Kuncoro mencari makam Nyai Menggung Gandarasa. Epilognya saja membuat kejutan luar biasa, sayang sekali kalau prolognya demikian. Lalu apa maksud dari halaman 126 dan 127? Ada 4 paragrafyang terulang. Mungkin maksudnya adalah Kuncoro mendengar rekaman percakapan Estu dan Gendis sebanyak 2 kali, tapi alangkah lebih baik bila pengulangan tersebut dinarasikan, bukan dengan ditulis ulang yang membuat pembaca sedikit bingung.
Walau dikerjakan dengan mencuri-curi waktu dengan mengetik di komputer depan CCTV, lalu dibantu editor yang sabar, hanya ada sedikit typo di dalam novel ini. Sip! Alur dan ide ceritanya membuat saya melayangkan dua jempol. Mengesankan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca ^^
Tolong berkomentar dengan sopan yaaa... Maaf kalau ada yang belum terjawab :*