Judul: Cerita Bodor Koas (CEBOK)
Penulis: Andreas Kurniawan, Tomy Aryanda, Hima Cipta dan Rifky Rizkiantino
Tebal: xvi + 235 halaman
Penerbit: mediakita
Cetakan: 1, 2014
ISBN: 979-794-441-7
Koas itu adalah makhluk setengah dokter. Tampilannya seperti dokter, tempat kerjanya seperti dokter, alat-alatnya seperti dokter, tulisannya (terpaksa) mirip tulisan dokter, tapi otak dan mentalnya belum dokter. Baik dokter umum, dokter gigi, atau dokter hewan, semuanya akan melewati masa transisi setengah dokter ini. Ketiganya jelas berbeda. Dalam buku ini, kita akan menyelami beberapa kisah yang dialami oleh para saksi hidup kerasnya perkoasan.
Masa koas itu lucu dan menarik sehingga yang akan, sedang atau sudah melewati masa tersebut, pasti tidak akan pernah bisa melupakannya. Kami pasti menertawakan diri sendiri lewat kebodohan kami dan pengalaman-pengalaman unik lainnya. Inilah kenapa masa koas itu begitu spesial, penuh cerita suka dan duka. Seru.
Melewati koas tanpa cerita, bagaikan melewati pup tanpa cebok!
Membaca kisah nyata dari keempat dokter dan calon dokter ini, membuat saya merasa bersalah karena dulu pernah ngerjain dan ngetawain para koas, atau yang lebih sering saya sebut DM, dokter muda. Tema yang diangkat dalam CEBOK ialah tentang lika-liku betapa sulit sekaligus menyenangkannya masa koas. Bukan hanya pada pendidikan dokter umum, tapi juga kedokeran gigi dan hewan. Sayang ya tidak sekalian kisah salah satu dokter spesialis aka PPDS, pasti lebih seru lagi.
Saya suka dengan tulisan dr. Andreas. Ia yang menjadi dokter demi sesuap nasi dan menulis demi sepiring sushi ini menuliskan kisah kocaknya dengan natural, tidak alay dan dilucu-lucukan. Saat menjalani modul elektifnya di So’e, daerah berjarak 6 jam perjalanan dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, begitu rinci dan anti humor garing. Pembaca tidak hanya tertawa, tapi juga mendapat banyak pengetahuan tentang bagaimana perjalanan para DM dalam memahami masalah kesehatan dalam masyarakat. Dilengkapi dengan potret asli, pembaca makin terenyuh menyadari bagaimana kondisi masyarakat di sana. Jadi lebih bersyukur karena hidup di lingkungan yang jauh lebih baik.
“Kalau sekarang ini ada pegal-pegal otot, tidak, Pak?”
“Tidak ada, Pak Dokter.”
“Kalau diare, ada tidak, Pak?”
“Tidak ada, Bu Dokter.” Kutipan dialog di halaman 31.
Maklum dengan sikap para DM yang mengharapkan pasien sesuai kasus yang diinginkan. Maunya yang mudah ditangani dan tertebak diagnosanya, apa daya yang hadir malah yang ‘aneh’. Saya juga pernah mengalaminya, terutama di saat harus melengkapi target kebidanan biar bisa lulus dan gak mengulang masa praktek di tempat yang ada bidan galaknya.
Kalau membaca tulisan Tomy, saya jadi kasihan. Gemes deh, kok bisa sih gak lulus-lulus jadi dokter gigi? Padahal realitanya, banyak teman saya yang lulusnya cepet banget, cukup 4 ½ tahun. Ajaib ya. Tapi lebih ajaib Tomy yang sudah 7 tahun belum lulus. Eh ada saingannya, itu tuh si Dikoyang jadi pemecah rekor 9 ½ tahun belum lulus juga. Upss ...
Gaya penceritaannya ... bikin ngakak, sih. Tapi lebay! Saya belum menemukan penyebab pasti mengapa kuliah di kedokteran gigi kok rasanya sulit. Apa karena kebanyakan game online? Apa sebegitu susahnya pertanyaan-pertanyaan dalam menuntaskan diskusi? Atau karena kurangnya pasien sebagai ‘bahan percobaan’? Atau jangan-jangan komplikasi ...
Pada sub bab “Cara Menghindari Cinta Lokasi dengan Pasien”, saya mengharapkan sekelumit kisah cinta lokasi dengan pasien. Minimal dengan rekan sejawat lah. Tapi tidak ada ... Eh ini kan memang bukan buku komedi cinta. Fokus pada suka-duka perkoasan, salah satunya tentang hubungan dengan beberapa profesi dalam suatu ruangan. Jangan sampai membina hubungan buruk dengan para CS alias cleaning service kalau tidak mau disodok pakai gagang pel seperti yang dialami oleh dr. Hima.
Salut dengan dr. Hima yang pandai merangkai imajinasi. Full ‘wangi’ Jepang di dalamnya. Saya tidak pernah berpikir bagaimana bisa memiliki nama ilmiah saat OSPEK yakni Gluteal maximus dan menghubungkannya dengan muka yang mirip cangkokan pantat Shinchan. Belum lagi penulis yang mengaku kembaran Ayumi Hamasaki ini sampai membayangkan bilamana sempat membawa komik hentai di dalam tasnya. Kocak banget deh kenarsisannya! Bukan hanya itu. Pembaca yang awam dengan nama alat-alat medis yang bergentayangan di ruangan, diperkenalkan dengan bengkok, spekulum juga benda steril yang dilafalkan ‘has’. Jadi nambah wawasan, tidak hanya mengenal tiang infus dan suntikan.
Rifky lain lagi ceritanya. Pemuda yang kini masih menjadi mahasiswa kedokteran hewan ini sempat galau saat cari ‘korban’ praktikum. Dia sampai merangkak dan guling-gulingan demi menangkap kucing sebagai bahan praktikum anastesi. Sampai di sini, saya menangis. Jujur ... saya kasihan dengan para hewan di sekitaran kampus kedokteran. Mereka secara tidak langsung telah menandatangani informed consent, persetujuan untuk dipakai sebagai bahan praktikum. Saya lebih tega menyuntik manusia dibanding menyuntik hewan yang hanya bisa kita ramalkan arti jerit kesakitannya. Bagi yang selama ini penasaran dengan apa saja kegiatan para mahasiswa kedokteran hewan, kisah Rifky referensinya.
CEBOK, buku komedi dengan bermacam gaya penceritaan benar-benar bisa menghibur saya. Bak menemukan oase di padang pasir, saya senang sekali akhirnya menemukan buku yang berisi bagaimana suka-duka di dunia medis, jadi punya teman seperjuangan. Saya jadi bersemangat menyelesaikan kisah mahasiswi kebidanan yang galau karena merasa salah jurusan. Eh ternyata sekarang saya malah kerasan. Doakan yaaa ... Hidup orang-orang kesehatan!
Catatan untuk pencetaknya, kerapian cetakan lebih diperhatikan lagi. Saya mendapati buku yang hampir sobek sisi-sisinya karena kurang rapi dalam pemotongan kertas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca ^^
Tolong berkomentar dengan sopan yaaa... Maaf kalau ada yang belum terjawab :*