www.kata-artha.com ---
"Allah tidak melarang kamu berbuat adil kepada orang kafir yang tidak memusuhimu."
(QS Al Mumtahanah ayat 8)
"Allah tidak melarang kamu berbuat adil kepada orang kafir yang tidak memusuhimu."
(QS Al Mumtahanah ayat 8)
"Cinta sejati tidak pilih kasih, tak bersyarat, tak melekat, dan selalu ingin berbagi pada sesama." (Budhist)
"Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini, tapi di jalan setapaknya masing-masing. Setiap manusia berjalan, sendirian. Berjalan, berlari, dan sesekali berhenti. Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama, mencari suatu hal yang sama, dengan satu tujuan yang sama, hingga semakin dekat ke tujuan, manusia menyadari, di sepanjang jalan setapak yang sudah dilewatinya, ia takkan pernah benar-benar sendiri. Manusia selalu bersama apa yang ia cari, bersama tujuannya, yaitu: Tuhan."
Itu tadi adalah kutipan dari film Tanda Tanya (?) besutan sutradara kondang Hanung Bramantyo. Sebuah film yang menceritakan warna kehidupan beragama Nusantara beserta konfliknya, realita dalam masyarakat kita : mencari kesalahan suatu agama, dibesar-besarkan dan dianggap masalah. Padahal agama apapun tidak menghendaki adanya pertikaian, agama apapun menghargai setiap perbedaan dan agama apapun tidak meminta untuk memusuhi yang berbeda dengan mereka.
Film CinTa |
“Tuhan yang kami sebut dengan berbagai nama, yang kami sembah dengan berbagai cara, terima kasih atas berkat yang Kau berikan. Jauhkan kami dari percobaan. Aamiin.”
Doa tersebut diucapkan bersamaan oleh Muslim dan Kristiani dalam filn Cin(T)a, film indie favorit di tahun 2009. Film favorit saya, juga teman-teman seasrama waktu kuliah.
Muncul sebuah tanya, “Mengapa Tuhan menciptakan kita berbeda-beda, bila Tuhan hanya ingin disebut dengan satu cara?”
“Itulah kenapa Tuhan ciptakan cinta, biar beda-beda tetap nyatu,” jawab Cina, salah satu tokoh utama dalam film produksi Sembilan Matahari Film dan Moonbeam Creations ini.
Kusebut film filsafat. Ada banyak dialog yang tidak boleh kita serap mentah-mentah, fatal. Bukalah hati, luaskan pandangan saat menikmatinya. Seperti pada dialog Cina yang diperankan Sunny Soon, “Kaya’ anak muda jaman sekarang, menguasai filosofi barat tak ada kedalamannya. Kalau tahu sedikit malah bahaya bisanya malah jadi ateis!”
Jika mau belajar filsafat terutama filsafat teologi, jangan cuma setengah setengah jadinya malah ateis. Membandingkan ini-itu, menanyakan ini-itu, akhirnya meremehkan eksistensi Tuhan, melogikakan yang seharusnya tidak dilogika. Ingat, manusia terbentuk dari dua unsur: akal dan perasaan. Pun tidak semua hal bisa kita lihat secara nyata.
Annisa, tokoh wanita, menyahut, “Lo kira kenapa Tuhan nyiptain ateis? Capek tahu disembah dan dipuja setiap saat.”
Tetapi menurutku ... Ateis bukan kehendak Tuhan. Yang menjalani hidup adalah manusia, memiliki takdir tetapi dapat diubah. Manusia berhak memilih jalan yang dikehendaki, baik buruk. Berhak memiliki patokan, ingin surga atau sekedar menjadi 'manis'.
Diceritakan bahwa Saira Jihan yang menjadi Annisa merupakan mahasiswi tingkat akhir yang 3 kali TA sebab kesibukannya di dunia keartisan. Ia cantik, tetapi kesepian. Tidak ada yang mau berteman dengannya, iri dengan kelebihannya. Dan dia merasa bahwa Tuhan sepertinya yang letih sebab banyak yang ‘mengejarnya’ demi sebuah tujuan: surga. Ini menurutku, setelah mengecap film ini belasan kali dengan air mata yang luruh.
buku pinjaman dari redaksi salah satu koran di Jogja |
Setahun lalu, saya mendapatkan buku yang WOW! Masih berkaitan dengan Tuhan dan tuhan. Tafsir Gatolotjo, pernah dimuat di Tabloid POSMO tahun 1999. Katanya ini karya kontroversial, tentang pencarian hakikat hidup dan Sang Pemberi hidup. Adalah Gatolotjo, lelaki buruk rupa dan tingkah laku. Ia pandai berfilsafat, sehingga menantang siap saja yang ditemuinya dengan cara arogan.
Istilahnya suka mencari gara-gara.
Nama ini secara harfiah sama artinya dengan darmogandhul, identik dengan lingga atau kelamin laki-laki. Saya orang jawa, tapi tidak mengerti maksudnya. Mungkinkah bahasa jawi? Disebutkan lambang ini biasa dipakai di kesusastraan Jawa sebagai simbol wadi, hati nurani.
Pada bagian awal dikisahkan sang tokoh bertemu 3 kyai dari pondok Rejasari, namanya Abdul Jabar, Ahmad Arif dan Abdul Manap. Yang saya herankan, walau memang Gatolodjo berfisik ‘tak layak’ namun apakah pantas seorang yang disegani berucap, “Astagfirullah. Itu manusia atau bukan?” saat memandangnya. Dari sini saya langsung ‘mencep’, ini namanya belum paham agamanya. Menjelek-jelekkan ciptaan Tuhan itu tidak boleh, Kawan.
Terlebih saat sang tokoh menyebut namanya, muncul komentar, “Bedes elek (kera jelek), nama itu tidak lumrah seperti layaknya manusia. Namamu itu haram.” (hal 9)
“Mukamu seperti musang. Mengapa kau mengaku benar-benar pria?”
Kontan Gatolodjo mengucap, “Picik betul pandanganmu. Seumpama saya mandi air, badanku ini sudah terisi air ... Maka jika ingin bersih, badanku justru kugosok dengan tanah, karena aslinya memang dari tanah.” (hal 11)
Fisik manusia bukan sang manusia yang meminta, namun Tuhanlah yang memberi. Jelek, cantik, manusia tidak ditanya ingin jadi apa saat masih berusia 40 hari. Takdir Tuhan yang terbaik, manusia tidak berhak mencaci rupa dan bentuk yang telah tercipta. Jika tetap demikian, artinya mengingkari kun Yang Kuasa.
Ada teka-teki, di antara posisi dalang, wayang, layar dan lampu blencong, mana yang lebih tua?
"Layar ibarat raga. Wayang sukma sejati. Dalangnya Rasulullah. Lampu blencong merupakan petunjuk hidup, Tuhan. Sinar kehidupan menerpa badan, luar dalam. Allah yang mencipta." (hal 16)
Tokoh Gatolodjo dikisahkan sebagai yang tidak mau menerima kehadiran Islam. Ia menganggap bahwa manusia telah memiliki Tuhan tersendiri sebelum panggilan Allah yang berasal dari Arab, wilayah lain, muncul. Ia menganggap bahwa orang yang mengingkari agama sebelumnya dianggap kafir. Saya sebagai yang bukan terlahir di masa lalu, tidak bisa menyalahkan. Sebab saya juga tidak mengenal Tuhan masa animisme dinamisme. Walau Tuhan juga tidak mungkin berganti masa, berbeda antara Tuhan yang dulu dan sekarang, tetapi bagiku tidak perlu dipermasalahkan. Tuhan tetaplah Tuhan, mana yang kau yakin pemilikMU.
Saat Gatolodjo mengoceh panjang lebar, yang berhadapan dengannya, saat itu seorang penyabit, berniat menusuknya sebab dianggap membahayakan dan merusak agama.
“Agama tidak bisa dirusak. Sebab takdir Hyang Widi, agama adalah agemaning aji. Kalau hanya masuk di lisan, itu yang sanggup merusak agama. Agama itu bebas, sesuka orang hidup. Biar agama Cina jika tulus lahir batin, sungguh akan diterima,” selorohnya. (hal 24)
Dalam buku setebal 90 halaman ini, pemberian tauhid ada 2 perkara: karena konsisten dan takut. (hal 83) Orang takut berpindah agama sebab dianggap kafir dan masuk neraka. Ada juga yang takut diajuhi oleh sanak saudara dan lingkungan. Padahal bagaimana manusia bisa tetap bersama agama yang dipilihnya ialah berdasar kata hati. Bila memang suka setulusnya, maka akan setia, suka duka.
Dan bagaimana kemunculan imanmu itu? Jawabnya bersamaan dengan kepasrahan hati. Ini kunci yang sempurna, untuk menuju pada kesempurnaa hidup manusia. (hal 84)
Entah disengaja atau tidak, orang Islam di sini 'kasar'. Ulama tetapi sempit pemikirannya. Atau mungkin sekadar penggambaran masih banyak yang demikian, berilmu, sombong dan lupa kodratnya. Namun bagian yang akhirnya terpetik adalah bahwa kebenaran sejati merupakan kebenaran di jalan Tuhan, Allah bagiku.
Perbedaan agama bukan untuk dipermasalahkan. Perbedaan ada untuk saling mengisi dan menghargai. Toleransi itu pasti, sebab Tuhan yang memberi. Indonesia ialah negara Bhinneka, bukan satu agama yang boleh berkuasa. Sebab agama itu keyakinan diri. Urusan Tuhan dan pribadi, bukan untuk dicaci-maki sesama peminta rezeki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca ^^
Tolong berkomentar dengan sopan yaaa... Maaf kalau ada yang belum terjawab :*