Judul: Dear Gita
Penulis: Tafrid Huda
Penerbit: Grasindo
Terbit: 1, 2013
Tebal: v+218 halaman
“’Dalam kamus seorang lelaki
yang sedang mengejar cintanya, tak akan ada kata sia-sia.’
Perjalanan dimulai ketika
Aska teringat akan kenangan manisnya bersama Gita. Di saat mereka sedang dibuai
asmara yang menggebu-gebu, mereka dipisahkan oleh perputaran semesta.
Kini, Aska berada di negara
kaya raya, Brunei Darussalam. Namun dalam pelariannya itu, tak sekalipun Aska
bisa melewati hari tanpa memikirkan Gita. Dia bahkan tak mengubah
harapan-harapannya dengan Gita. Dalam perasaan yang teramat sakit, Aska masih
sangat yakin, Gita masih sayang padanya. Aska menuliskan 3 tujuan mimpinya saat
itu, yaitu Mekkah, Jepang dan Kota Terlarang. Mekkah untuk dirinya, Jepang
untuk Gita, dan Kota Terlarang untuk keegoisannya. Tak pernah sekalipun dia
berpikir untuk merubahnya meski ia sadar, Gita bukan sosok terbaik untuk bersama-sama
menunggu hujan reda dan melihat pelangi.”
Saat membaca novel ini, saya
terus tersenyum simpul. Meski bukan buku komedi, tapi ada humor di dalamnya.
Mungkin karena mengidolakan Raditya Dika dan Andrea Hirata, sang penulis
sedikit terbawa gaya kepenulisan dua penulis kondang tersebut.
Dimulai dengan judul bab
pertama, Salahkan Doraemon!!! Saya terbelalak pada opininya tentang Doraemon.
Katanya, robot kucing bersuara om-om itu harus bertanggung jawab bila anak-anak
sekarang ingin punya mesin waktu dan senter pengecil. Juga terkesima akan
pengetahuannya mengenai Jepang, markas Yakuza yang bertanggung jawab akan
adanya gerakan anak-anak malas mandi karena menonton kartun di Minggu pagi.
“... Intinya. Jepang itu
jauh.
Kaisar Jepang harus
betanggung jawab atas keinginan pacarku untuk ke sana. Kenapa pacarku tidak
menginginkan Bali atau Lombok yang lebih dekat? Atau Raja Ampat, Pulau Komodo
juga tentu bagus. Kenapa tidak di dalam Indonesia saja yang lebih memungkinkan
untuk nmencapainya? Kenapa, Tuhan? Kenapa Kau ciptakan negara bernama Jepang
itu?”
Dan setelah pertanyaan hati
tentang Jepang dan Doraemon, penulis membawa kita pada suatu poin yang sangat
penting. Yakni mengenai arti dan pemberian nama.
“... Sebenarnya cukup aneh
saat kemarin aku mengetahui tetanggaku melahirkan seorang anak lelaki dan
ayahnya memberi nama Farrel. Ya, tujuh tahun dijajah oleh sinetron Cinta Fitri membuat kebudayaan Cinta Fitri telah mengakar ke alam
budaya bangsa ini, Kawan. Berhati-hatilah!”
Gita berarti nyanyian, tokoh
bernama Aska bisa mengetahui arti nama kekasihnya lewat Kamus Besar Bahasa
Indonesia yang lebih pantas menurutnya disebut Kamus Berat Bahsa Indonesia.
Sayangnya ia tidak menemukan arti namanya sendiri. Dan di kisah selanjutnya,
diketahui bahwa arti nama Aska adalah ... Ah saya tidak tega menjelaskannya di
sini. Ini kurang pantas, Kawan! Kurang pantas! Lebih baik kalian membacanya sendiri saja.
Tema yang diangkat di Dear
Gita ini ialah move on dengan cara kabur ke luar negeri. Yah, sebenarnya
sekalian mencari uang, agar bisa jadi makhluk yang berguna. Walau banyak
pemikiran dan pembahasan tentang Gita dan Gita, saya salut akan usaha Aska
dalam melupakan gadis yang entah mengapa ingin putus dan menjauh darinya itu.
Alasannya tidak jelas. Juga salut akan kesetiaan Aska, yang menganggap Gita
ialah cinta matinya hingga Lidya pun tak mampu mengubah rasa itu.
Gemas dengan tokoh Gita yang
absurb. Mungkin karena ia masih SMA, labil, jadi bisa bilang putus dengan
mudahnya. Yang menjadi pertanyaan ialah mengapa saat Aska dikatakan ‘sukses’,
ia mau kembali padanya dan putus lagi di saat harus pacaran jarak jauh?
Jogja, Jakarta dan Brunei
Darussalam. Setting yang terakhir jarang dibahas pada novel-novel yang ada di
Pasaran. Sayangnya penulis menggambarkannya kurang spesifik sehingga terkesan
‘tempelan’. Namun ada berita mengejutkan yang baru saya tahu dari novel ini,
bahwa ternyata karena banyak orang Indonesia yang bekerja sebagai tukang
bangunan, maka anggapan lokal Brunei pun menjadi seperti itu.
“Kerja di mana, Mas?” Memang
sudah terlalu banyak orang Indonesia di Brunei, sehingga orang lokal Brunei
biasa memanggil kami dengan sebutan ‘mas’.
“Di Batu Bersurat, Pak
Haji,” jawabku.
“Kerja apa di sana, Mas?”
Pak Haji kembali bertanya.
“Di production house,” aku
menjawab lagi.
...
“Production house berarti buat rumah, ya Mas?”
“Haaaah???!”
Dan dari impian mengunjungi
3 tempat, hanya Kota Terlarang yang tidak jelas bagaimana kelanjutannya. Serta
penggambaran Jepang yang kurang maksimal, mungkin dilanjut pada sekuel kedua
yang konon sedang digarap penulisnya. Saat menamatkan novel ini dan membaca
biodata penulis, saya jadi terenyuh. Saya pikir, mungkin apa yang dikisahkan
ialah kisah pribadi sang penulis. Rasnya seperti membaca curhatan seseorang. Bagaimana usaha kerasnya menjadi sukses
seperti sekarang ini, layak saya acungi jempol. Salut, Bro!
Dari Dear Gita, saya bisa
belajar banyak. Bahwa cinta harus diperjuangkan, bahwa komunikasi itu penting,
bahwa impian harus diraih sehingga tidak saja hanya berupa mimpi. Dear Gita,
sebuah kisah manis tentang seseorang yang melekat di hati, sayangnya ia tak mau
mengerti.